32 | Menuju Gunung Kawi

10.3K 1.6K 102
                                    

1362

Setelah beberapa purnama terlewati, aku berhasil mengumpulkan informasi mengenai Ki Walang melalui Arangga. Keponakanku itu bekerja dengan cekatan, bahkan di sela-sela kesibukannya sendiri. Dhipta genap berusia satu tahun bulan ini, sehingga aku sudah mulai berani meninggalkannya sendiri di Trowulan bersama Kangmas Hayam Wuruk, Yunda Sudewi, Kusumawardhani, dan dayang-dayang yang selama ini mendampinginya. Aku berhasil mendapatkan izin dari Kangmas Hayam Wuruk untuk me-refresh diri di luar keraton. Sebenarnya, suamiku itu ingin bergabung denganku. Tapi, ia disibukkan dengan persiapan Upacara Sraddha bagi eyang putrinya, Rajapatni Gayatri. Sebenarnya, itu adalah titah Ibunda Tribhuwana Tunggadewi untuk memuliakan permaisuri dari Nararya Sanggramawijaya setelah dua belas tahun mengembuskan napas terakhir.

Kangmas Hayam Wuruk kini tengah mendalami proses pembuatan candi dharma di Boyolangu untuk eyang putrinya. Semenjak kematian sang eyang putri, Kangmas Hayam Wuruk naik takhta. Oleh karena itu, saat ini adalah tahun kedua belas pemerintahannya.

"Bibi, kita akan melewati rute seperti perjalanan waktu itu. Masih ingat saat kita memakan jenang abang, bukan? Tempat Ki Walang tak jauh dari sana," jelas Arangga sembari memakan jambu air.

Oh, omong-omong ia baru menikah dengan Ranadwi dua bulan lalu. Dia berhasil mendapatkan izin dari Kangmas Hayam Wuruk untuk menjadi pengawal—ehm, salah satu ksatriaku. Dua pengawal lain yang ikut bersama kami adalah orang kepercayaan Arangga. Aku hanya mengajak dayang terpercaya, Lembayung. Mereka sudah tahu perihal rencanaku.

"Ah, daerah Kagenengan maksudmu? Tempat salah satu dharma yang Kangmas Hayam Wuruk dan kita kunjungi dahulu?" tanyaku, mencoba mengingat-ingat letak tempat yang dimaksud oleh keponakanku.

"Ya. Kita akan tiba malam hari nanti di sana. Setelah itu kita akan beristirahat hingga pukul tiga dini hari. Perjalanan menuju tempat Ki Walang membutuhkan waktu karena harus ditempuh dengan berjalan kaki. Paling tidak Bibi sudah harus siap pukul setengah tiga pagi." Arangga kembali menjelaskan sembari membuang bagian jambu air yang sudah sedikit membusuk.

"Aku harus melakukan apa saja di sana?" tanyaku lagi, begitu penasaran dengan proses yang harus kujalani demi sampai pada tujuan. Arangga tampak berpikir sekilas, meninggalkanku dengan suara derap kaki kuda. Hari ini kami menaiki pedati, tetapi bukan lembu yang menariknya. Ada sepasang kuda jantan nan gagah yang tengah dikendalikan oleh salah satu pengawal yang merangkap menjadi kusir.

"Yang jelas, Bibi harus mengatakan tujuan Bibi meminta pusaka kepada Ki Walang. Ada beberapa syarat materi yang diberikan, tetapi tenang saja. Aku sudah menyiapkannya. Oh ya, mungkin Bibi akan diminta bersemedi atau mandi bunga tujuh rupa dengan air dari tujuh petirtaan," ucap Arangga pelan, menikmati buah-buahan lain yang kami bawa. Dasar, dia benar-benar sudah menyerupai kera yang kelaparan.

"Untuk bunga dan airnya bagaimana? Apa kau juga sudah menyiapkannya?" tanyaku lagi.

"Kalau itu, Ki Walang pasti sudah menyiapkannya," sahut Arangga sembari asyik mengunyah pisang.

"Baiklah," lirihku dan sejurus kemudian kembali menodong Arangga dengan sebuah pertanyaan, "Kau yakin Ki Walang dapat dipercaya?"

Arangga menatapku kesal sembari berdecak. "Kenapa Bibi banyak bertanya, sih? Semua sudah kujelaskan di surat rahasia kita. Ki Walang amat sangat dipercaya, pendahulunya adalah orang sakti yang memberitahu keluarga kita bagaimana caranya mendapat pusaka!"

Lembayung menatap Arangga tajam. "Tuan Arangga, mohon berbicara penuh hormat kepada Gusti Gauri. Bagaimanapun kedudukan beliau jauh di atas Tuan."

Aku ingin tertawa melihat Arangga yang langsung menampar mulutnya sendiri karena merasa malu. "Tidak apa, Lembayung. Selain sebagai keponakan, Arangga adalah sahabat terbaikku. Hal itu tidak akan berubah meskipun aku telah menjadi seorang selir."

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang