SEMBILAN BELAS

665 76 5
                                    

Memasuki waktu zuhur, MI Mudawarah melaksanakan salat berjamaah. Anak-anak berlarian mengisi shaf.

Jika terlambat maka bisa tidak kebagian shaf dan terpaksa salat di teras musala atau halamannya.

Sheina dan Tina duduk paling belakang dari barisan jamaah perempuan yang berdinding kain pembatas dengan jamaah laki-laki.

Teman-temannya yang terlambat terdengar gabut mencari sisa shaf.

Sheina tak sengaja melihat ke barisan para jamaah pria di halaman musala yang bertegel putih itu.

"Itu yang pakai gamis hijau lumut siapa?"

"Guru baru kita."

"Hah, guru baru kita?" tanya Sheina memastikan.

"Ada apa?" tanya Tina penasaran dengan raut Sheina yang tampak syok.

"Enggak papa."

Tak lama kemudian, salat berjamaah dimulai.

Semua khidmat menyelesaikan rakaat demi rakaat. Begitu pun jamaah yang berada di halaman musala. Meskipun cuma halaman tapi kebersihannya terjaga karena selalu dibersihkan petugas. Hanya saja kalau di halaman siap-siap kepanasan karena terik matahari siang. Dan kalau hujan ya kehujanan.

Benar saja, seperti pada hari itu kebetulan hari terlihat mendung dan tak lama kemudian gerimis. Walau salat zuhur sudah selesai sebagian masih ada yang melaksanakan salat sunah.

Tiba-tiba Sheina mengambil payung dalam ranselnya dan berlari ke arah guru baru—tengah kusyuk posisi sujud.

"Sheina!" Tina berusaha mencegah temannya itu, namun diabaikan. Sementara hujan begitu lebat yang tak berselamg lama dari gerimis.

Sang guru masih sujud. Sheina dengan senang menenteng payung melindungi sang guru yang sedang kusyu. 

Guru-guru yang lain terharu ketika menyaksikan kebaikan Sheina. Teman-temannya juga memberikan uplus untuk Sheina yang begitu peduli.

Setelah guru baru itu selesai dari salatnya. Betapa terkejutnya melihat seorang murid perempuan tersenyum memayunginya sedang murid itu sendiri basah kuyup. Lekas guru baru itu memboyong Sheina berteduh.

Sheina dibawa ke ruang UKS. Tina membawakan ransel Sheina karena di dalamnya ada seragam olahraga yang tersimpan. Beruntung hari itu ada jadwal pelajaran PJOK.

"Minumlah, Nak!" ujar guru baru itu sembari memberikan segelas susu hangat kepada Sheina yang tampak masih kedinginan. Pun sudah berganti dengan seragam olahraganya.

"Terima kasih." Sheina mereguknya dengan nikmat.

"Siapa namamu, Nak?" tanya lelaki itu setelah Sheina selesai minum.

"Sheina Mardella."

"Oh, nama yang bagus."

"Terima kasih."

"Nama Bapak, Ali Syahid. Panggil saja Pak Ali!"

Jadi namanya Ali. Calon ayahku. Benaknya.

"Sheina, makasih sudah peduli dengan Bapak tapi lain kali jangan lakukan ini lagi, ya!"

"Tapi, kan, kata Bunda berbuat baik itu penting."

"Benar, tapi kalau Sheina sakit gimana?"

"Justru Sheina enggak mau Pak Guru yang sakit."

"Kok gitu?"

"Kalau Pak Guru sakit siapa yang akan mengajar kami? Kalau Sheina yang sakit enggak apa-apa tapi kalau Pak Guru yang sakit siapa yang akan mengajari teman-teman?"

Subhannallah. Anak saleha. Sekecil ini sudah begitu peduli kepada orang-orang. Pasti kedua orang tuanya bukan sembarangan.

"Tapi kalau Sheina sakit, gimana belajarnya?" Sheina terdiam menunduk.

"Baiklah, walau begitu Bapak saaangat berterima kasih sama Sheina. Sebagai tanda terima kasih Bapak, Sheina mau apa? Hadiah atau apa bilang saja."

"Benar Sheina boleh minta sesuatu dan dikabulkan?"

"Insyaallah."

"Saya mau..." Sheina terdiam sejenak. Ia ragu akan permintaannya. Namun, wajah guru yang teduh ia pandangi itu membuatnya berani mengucapkan.

"Sheina mau Pak Guru menikah dengan bundanya Sheina," ujarnya spontan. Membuat gurunya bernama Ali itu langsung terkekeh mendengar pernyataanya.

"Kenapa? Bapak tidak mau? Kalau tidak, ya, sudah."

"Bukan begitu, Nak." Ali membelai kepala Sheina yang tertutup jilbab putih.

"Sheina tahu, pasti Pak Guru tidak mau sama Bunda karena Bunda seorang single parent. Iya, kan?" Ali tampak lebih terkejut mendengar pernyataan Sheina yang kedua.

"Sheina maksud Bapak begini..."

"Sudahlah, Sheina tahu. Maaf Sheina minta sesuatu yang enggak masuk akal." Sheina keluar dari ruang UKS.

Tinggallah Ali seorang diri. Ia tak berhenti terkekeh. Bukan mencibir permintaan Sheina hanya saja ia kagum dengan seorang anak begitu peduli ibunya. Dan ia tak menyangka jika Sheina yang masih usia sembilan tahun itu memiliki pemikiran dewasa. Beberapa kali Ali menggaruk kecil jidatnya. Kaget, bingung, aneh, dan kagum bercampur jadi satu.

***

Jam pulang tiba.

Anak-anak berhamburan keluar kelas. Di ambang pintu kelas lima, Ali melihat Sheina tampak bersama dengan keponakan sepupunya di koridor kelas tiga. 

"Assalammualaikum, Sheina, Tina?" Ketika mereka berpapasan di halaman sekolah.

"Waalaikumsalam, Oom, eh Pak Guru." Sahut Tina.

"Ya enggak papa panggil Oom kan sudah berakhir jam sekolah?"

"Termasuk Sheina, Om?"

"Iya." Ali melihat Sheina yang diam menunduk.

"Bukan begitu, Sheina?" Sheina hanya diam menatap Ali sejenak lalu pergi tanpa mengiyakan.

"Sheina, katanya pulang bareng, ayo naik mobil sama aku dan Oom!" Mendengar itu, Sheina malah berlari cepat meninggalkan Tina. Ali menghela napas.

Apakah kau begitu serius dengan permintaanmu? Aku bahkan tidak kenal ibumu, Sheina. Apakah tidak ada permintaan lain?

KAFNUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang