TUJUH BELAS

635 84 2
                                    

Hujan masih saja belum reda. Di kamar kecil bernuansa hello kitty seorang anak kecil duduk menangis. Kedua tangannya memeluk sebuah undangan. 

"Sheinaaa?" Terdengar langkah kaki ibunya menaiki tangga. Kamarnya berada di lantai dua.

Ibunya terus memanggilnya. Sementara ia tetap diam.

"Sheina kalo Bunda panggil ya jawab dong! Kebiasaan. Ini lagi, kalo abis main dikembalikan dong mainannya ke tempatnya." Ibunya meletakkan beberapa mainan bonekanya ke dalam lemari. Sementara ia cuma diam membelakangi keberadaan ibunya.

"Sheina, dengar Bunda enggak?" Kini ibunya mendekatinya dan betapa terkejut melihatnya menangis.

"Sheina, kamu kenapa, Nak? ibunya membelai kepalanya dengan lembut.

"Kamu nangis?" Ia menggeleng.

"Sini bilang sama Bunda, ada apa? Marahan sama temannya ya?" Ia menggeleng lagi.

"Terus apa? Mau jalan-jalan?" Sheina menggeleng diam.

"Bilang dong sama Bunda. Sheina?" akhirnya ia mengangkat wajahnya. Matanya sembab sehabis menangis.

"Kenapa Sayang?" Ia menyerahkan undangan di tangannya.

Ibunya pun membaca surat undangan itu. Wanita berkhimar itu menghela napas. Ia mengerti apa yang membuat anaknya menangis.

***

"Harus berapa lama kamu menutup diri hanya karena merasa belum siap?"

"Entahlah Ma? Ketika menengok masa lalu, rasanya masih diberi hidup saja Lerra amat bersyukur. Lalu, menyentuh masa depan yang tidak berdosa. Apa tidak terlalu besar harapan itu?"

Ibunya tersenyum memandangi wajahnya yang semakin dewasa. Barangkali bukan karena usianya melainkan cara berfikir yang selalu ke arah perenungan begitu dalam.

Jika tidak direnungkan dengan matang dan dilandasi akal bisa saja perenungan membawanya semakin jauh di lorong gelap.

"Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang masa lalu, itu menyalahi kodrat kita yang hidup dalam nafas waktu. Ia tidak diam."

"Waktu itulah yang membawa Lerra ke detik ini. Andai bisa kembali seharusnya bukan penderitaan ini, Ma."

Ibunya mencoba mengulurkan tangan kepadanya. Menurut ibunya, ia harus segera keluar dari lorong itu jika tidak mungkin benar-benar tersesat selamanya.

"Apa benar masa depan itu suci?" Lerra mengerut memandang ibunya tersenyum. Ia mencoba memahami kalimat itu.

Di ambang jendela kamarnya, ia berdiri. Memejamkan mata sekadar mengingat yang telah lalu. Mana yang lebih suci?

"Pikirkan Sheina. Jika alasanmu menolaknya karena merasa belum siap. Berarti akan ada masanya sudah,'bukan?"

Ibunya pun beranjak meninggalkannya seorang diri.

Pandangannya masih tertuju pada belakang rumah yang masih asri.

Pohon-pohon yang lebat serta puncak gunung bamega yang berdiri kokoh dengan awan di atasnya membuat tatapannya semakin jauh. Jauh menggali apa yang ada di dalamnya.

Mata itu tak pernah lepas dari masa lalu.

Lagi-lagi air matanya merembes. Teringat kepada almarhum ayahnya yang meninggal karena gagal jantung ketika usia anaknya masih dua tahun.

Ia juga teringat pasca kecelakaan tujuh tahun lalu. Bagaimana ia berjuang menyelamatkan kandungannya.

Pindah ke Kalimantan agar dapat bernapas dari lingkungan yang pasti mengucilkannya. Ia pergi dengan membawa kebohongan dari Yumna bahwa ia keguguran.

Di tempatnya yang baru, ia pun membawa kisah menjadi seorang janda dengan anak satu.

Mengapa begitu banyak kebohongan? Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Seorang guru sekaligus ustaz yang sering tausiah di Majelis Taklim yang ia ikuti sudah berapa kali menuturkan niat baiknya untuk menjadikannya sebagai istri, namun lagi-lagi ia menolak.

"Aku tidak bisa menikah dengan kebohongan ini, Ma. Jika kukatakan sebenarnya, nasib Sheina berdampak buruk. Menikah hanya menjadikanku sebagai Ibu yang egois. Sudahlah, jangan bahas pernikahan lagi."

"Tapi Sheina membutuhkan seorang Ayah, Lerra."

"Saya akan menjadi Ibu sekaligus Ayah. Hari ini ia boleh saja merasa butuh Ayah nanti semakin ia besar semakin paham."

"Mama enggak tahu harus gimana, kamu keras kepala."

Itulah pertengkaran yang selalu muncul kala ibunya meminta ia menikah.

Itu tidak mudah baginya.

Tapi setelah melihat Sheina begitu terpukul karena tak bisa menghadiri undangan itu hatinya mulai memanas.

"Bagaimana bisa acara itu hanya boleh dengan seorang ayah?" ujarnya waktu menelepon kepala sekolah.

"Maaf Bu Lerra, acara itu terselubung khusus untuk para pria dan spesial bisa membawa putra-putrinya yang belum baligh. Tapi, kalau ayahnya sudah tidak ada bisa kok dengan walinya."

Lerra menghela napas. Cukup sudah perenungan itu.

***

"Apa Mama sudah yakin dengan Si Rudi itu?" tanyanya pada saat malam hari.

"Kalau Mama sih yakin aja, Nak tinggal kamu saja dan Sheina. Jangan lupa tanyakan pula padanya!"

Lerra pun mengerti. Ia menanyakan pandangan Sheina terhadap Rudi. Namun, jawaban yang diberikan Sheina tidak masuk akal.

"Sheina enggak mau."

"Kalau gitu jangan merengek minta Ayah."

"Tetep mau Bunda...tapi bukan Om Rudi."

"Lha emang siapa?"

"Sheina mau..."

Lerra menunggu kelanjutan kalimat dari bibir putri semata wayangnya.

"Yang meminjamkan payung kemarin."

KAFNUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang