Bab 3

880 105 22
                                    

Keandra masih memiliki waktu satu minggu untuk mengurus bisnis restorannya di Jakarta. Meski sedang dalam masa mendapat mandat spesial dari sang ayah yang mengharuskannya bermigrasi ke Bandung untuk sementara, tapi pria itu tampak masih sibuk mengurus segala laporan yang dikirimkan padanya via daring oleh sang asisten. Saat ini pria 29 tahun itu sedang berada di selasar apartemen. Duduk di kursi panjang ditemani laptop dan ponsel yang menempel lengket pada telinganya.

"Jangan lupa makan siang, Dra. Ibu tahu kamu masih sering melewatkannya."

Suara lembut itu selalu sehangat mentari pagi ketika berbicara dengan Keandra. Apalagi jika dia sudah menumpahkan segala kasih sayang lewat nasihat-nasihat sederhana bahkan ketika itu hanya sekadar mengingatkan agar pria itu tidak telat makan.

"Iya, Bu. Killa dan Andres tidak membuat Ibu kepayahan kan di sana?"

"Sama sekali tidak, padahal Ibu sangat berharap mereka bisa menyulitkan Ibu ketika mengasuhnya he he."

"Mbak Mia harus membayar mahal pada Ibu nanti."

"Jangan salah, daftar oleh-oleh yang harus dia beli sudah mengular panjang. Ibu hanya tinggal mengirimkan padanya."

"Baguslah, kita tidak boleh membiarkan dia bersenang-senang tanpa beban pikiran. Kapan rencananya mereka pulang dari Jepang?"

"Katanya lusa, seharusnya mereka pulang hari ini tapi mendadak klien Erwin mengajak rapat susulan."

"Kenapa begitu?"

"Ibu masih belum tahu, tapi mudah-mudahan saja bisnisnya di sana lancar."

"Aamiin."

"Oh ya, Kean, Ayah sudah menghubungimu kalau hari ini dia terbang ke Bali untuk menemui pak Hartawan?"

"Sudah, Bu, tadi pagi Ayah menelpon."

"Ayahmu tampak senang karena tiba-tiba pihak perusahaan pak Hartawan menawarkan kerja sama tanpa perlu bersaing dengan perusahaan lain. Katanya itu semua berkat bantuanmu dan Ryan."

"Aku tidak melakukan apa pun, Bu, Ryan yang lebih banyak membantu."

"Hebat sekali anak itu, apa kabarnya dia? Sudah lama sekali Ibu tidak bertemu dia, terakhir itu pas pernikahan Mia kalau tidak salah."

"Dia baik dan masih gila seperti dulu."

Banyak pertanyaan yang Elena ajukan, padahal Keandra tahu bukan semua itu yang sebenarnya perempuan itu harapkan. Elena ingin mengetahui hal lain--sesuatu yang menjadi alasan sebenarnya kenapa dia dikirim ke kota kelahirannya itu.

"Kalau hatimu, bagaimana kabarnya?"

Lihat? Inilah yang Keandra maksud. Pria itu tidak mau menyebutkan jika ibunya pandai berbasa-basi, dia yakin sejak tadi ibunya sibuk mencari dan merangkai kata yang pas untuk menanyakan maksud dan tujuan utamanya menelepon Keandra.

"Dia sehat karena aku rutin olahraga. Udara Bandung memang paling juara saat pagi hari."

"Ibu serius, Sayang."

"Aku juga serius, Bu, hatiku baik-baik saja dan tidak semenyedihkan bayangan Ibu, Ayah, dan Kak Mia. Batal menikah bukanlah kiamat untukku. Kania sudah menentukan pilihannya dan itu saja sudah cukup untukku mengakhiri cerita kami. Sebenarnya tanpa kalian perlu mengirimku ke sini pun aku akan baik-baik saja."

Keandra tahu keluarganya sangat menyayanginya. Mereka takut Keandra terluka akan batalnya pernikahan pria itu dengan tunangannya yang disebabkan oleh keegoisan Kania. Keandra kecewa dan hanya sebatas itu perasaan yang dia rasa. Sewajarnya hati ketika disakiti, Keandra pernah merasakan yang namanya marah, dendam, tidak mau menerima kenyataan, dan ingin balas menyakiti orang-orang yang telah menyakitinya. Keandra punya hak dan kuasa untuk melakukan pembalasan tapi sayangnya dia tidak segegabah itu.

Love at First Night (TAMAT) Where stories live. Discover now