Bagian 26 : Keputusan Ara

38.5K 3.8K 150
                                    

Ilham menepuk-nepuk pundak Ara dan berdiri. "Ayo keluar dan katakan jawaban kamu, terima atau tidak. Jangan buat Adam dan keluarganya menunggu."

Setelah Ilham keluar dan percakapan dengan keluarganya selesai, Ara menutup mata dan mengembuskan napas dalam sebelum keluar dari kamar. "Semoga ini adalah jawaban yang tepat," ucap Ara bermonolog dam keluar untuk memberikan jawabannya.

###

Di sinilah Ara berada, duduk di tengah-tengah Ayah dan Bundanya, sedangkan tepat di depan Ara ada Adam dan ibunya. Semuanya diam memandangi Ara, menunggu jawaban yang akan ia berikan.

Ara menggigit bibir bawahnya gugup dan tidak sengaja melihat gestur tangan Adam yang meremas jempolnya sendiri.

Apa Kak Adam juga gugup? batin Ara.

Ara memandang satu persatu keluarganya kemudian.... "Iya, aku terima lamaran Kak Adam," ucap Ara pada akhirnya membuat semua raut wajah tegang di sana melemas. Sepertinya masing-masing sedang bersyukur dalam hati secara serentak.

"Kak, aku mau bicara sebentar sama Kak Adam," lanjut Ara setelah menerima lamaran Adam kemudian berdiri. "Ayo ke belakang sebentar," ajak Ara yang diangguki Adam.

"Permisi, Adam mau ikut Ara sebentar," pamit Adam dan mengikuti Ara.

Setiap pasang mata yang berada di ruang tamu itu mengikuti punggung kedua orang yang akan menjadi suami istri itu menjauh. Ketika Ara dan Adam sudah beranjak pergi, benar-benar meninggalkan ruang tamu. Bundanya Ara dan Ibunya Adam saling bertatapan, matanya seakan saling bertukar informasi kemudian bibir saling melengkung ke atas, membentuk sebuah senyuman. Kemudian dalam hitungan detik mereka bertos ria. "Yes! Berhasil!" ucap dua wanita paruh baya itu bersamaan.

###

Langit terlihat cerah saat ini. Adam dan Ara duduk bermandi sinar matahari, tepat di kursi tempat menjemur baju sehari-hari, tentu saja mereka hendak mengobrolkan masalah hati.

Namun....

Hening.

Baik Ara maupun Adam sama-sama diam. Ara sibuk menata ucapan yang akan ia utarakan, dan Adam dalam posisi bingung harus mengatakan apa.

"Hmm, Ra," panggil Adam sekaligus memecah keheningan.

"Iya, Kak."

"Makasih udah terima lamaran aku. Aku mungkin bukan calon suami yang baik, tapi aku akan berusaha untuk itu."

Ara mengangguk. "Tapi apa Kak Adam yakin milih aku? Aku ngerasa belum siap jadi seorang ibu-" Ara menjeda ucapannya, merasa ada yang salah. "Eh, ngg maksud aku istri? Aku masih kayak anak kecil, dan aku juga belum ada tabungan apapun untuk kehidupan setelah menikah, aku juga masih kuliah."

"Ra, pilihanku kamu, yaudah kamu. Intinya gitu, aku yakin aku nggak salah pilih. Kamu yang pertama dan yang satu-satunya. Masalah kamu masih kayak anak kecil, aku siap jadi orang yang ladenin kekanak-kanakanmu. Masalah materi, kamu jangan khawatir, aku udah punya tabungan yang aku pikir cukup kok untuk pernikahan dan kehidupan kita setidaknya sampai beberapa bulan ke depan. Masalah kuliah, karena kamu istri aku, biaya kuliah biar aku yang nanggung," ucap Adam yang membuat Ara cukup terkejut. Adam terlihat sudah mempersiapkan dari jauh-jauh hari.

"Kak Adam nggak apa-apa? Nanggung semuanya itu? Dan, aku yang pertama dan satu-satunya? Kak Adam nggak pernah pacarannn?!!!!"

Adam tersenyum dan mengelus pucuk kepala Ara. "Ra, itu udah jadi tugas aku sebagai seorang suami. Lagian dibanding itu, nggak seberapa sama perjuangan orang tua kamu besarin kamu dan biayain pendidikan kamu, sednagkan aku dateng-dateng minta kamu jadi bagian dari keluargaku, keluarga yang akan aku pimpin. Aku nggak pernah pacaran pertanda aku orang yang setia."

"Sok-sokan banget. Nggak mungkin nggak pernah pacaran. Oiya, Kak, terus gimana bilangnya ke anak-anak yang lain kalau Kak Adam jadi suami aku? Kak Adam kan Dosen di kampus aku."

"Itu bisa diurus nanti. Lagian semester depan udah enggak. Kamu sih datengnya dulu telat. Aku ini dosen pengganti, Ra."

"Terus setelah itu Kak Adam jadi pengangguran dong?" tanya Ara refleks.

"Ciye penasaran...." goda Adam.

"Yaiyalah, kan Kak Adam calon suami aku, gimana sih?" ceploas Ara yang tanpa ia sadari membuat hati Adam menghangat, sebuah senyuman terbit di bibirnya.

"Enggak kok, Raaa..." ucapnya sembari mencubit hidung Ara. "Kalau pun nantinya aku jadi pengangguran, aku akan usahain gimana pun caranya agar kamu dan keluarga kecil kita nggak kelaparan. Itu salah satu bentuk tanggung jawab aku sebagai kepala keluarga."

"Kalau lagi begini emang enak ngomonginnya, nggak tau nanti jalaninnya gimana," sahut Ara.

"Pokoknya kamu ada di samping aku, semangatin aku, dan aku akan berusah keras untuk ekspetasi itu. Oiya, kamu pengen resepsi yang gimana?"

*Cari yang model Adam di dunia nyata ini dimana siiihh?!?!!!

"Aku pengennya yang sederhana aja, Kak. Jangan terlalu mewah, biar uangnya bisa buat tabungan sehari-hari."

"Masuk yuk, bicarain masalah pernikahan sama anggota keluarga yang lain," ajak Adam yang diangguki Ara.

Adam berdiri dan berkacak pinggang sebelah, memberikan isyarat pada Ara untuk menggandengnya. "Marilah, calon ibu negaraku, raihlah tanganku dan melangkah bersama," ucap Adam yang dinyinyiri Ara.

Namun, tak urung, Ara dengan raut wajah yang malu-malu menggandeng lengan Adam.

Melihatnya, Adam tersenyum.

Terima kasih, kekasih hatiku.

###

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now