23 || Bukan Dirinya

Start from the beginning
                                    

Tidak lama ia menyadari bahwa tali sepatu kirinya terlepas dan terpisah dari sebelumnya menyatu membentuk simbol pita. Dion segera membungkuk untuk memperbaiki tali sepatunya.

Di samping itu, Aletha berjalan menyusuri koridor dengan pandangan  fokus pada benda pipih di tangannya. Aletha memang sengaja datang pagi sekali karena hari ini ia diberi tugas oleh pembina ekskul untuk memeriksa ruang latihan.

Aletha terus berjalan tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya, hingga....

Brugh...

Suara ponsel terjatuh, membenturkan benda pipih ber case hitam putih itu pada keramik sekolah.

Sebuah kaki menyandung kaki Aletha hingga membuat Aletha kehilangan keseimbangan dan menyadarkan dirinya pada dunia.

"AAAA!" teriak Aletha saat tubuhnya hampir saja tersungkur dan menyusul nasib naas ponselnya, namun seketika seseorang telah menahan tubuhnya.

Pupil Aletha membesar, mungkin bisa lebih besar dari ukuran tatakan cangkir. Degup jantungnya naik saat tubuhnya menabrak dada bidang Dion yang dilapis beberapa lembar kain.

Mata hazel Dion mengangkap netra hitam Aletha. Posisi mereka bisa dikatakan terlalu intim untuk sebuah kejadian  tersandung saja. Aletha segera mengambil posisi seharusnya setelah ia sadar akan apa yang baru saja terjadi.

Dion menelan salivanya susah kala suasana cangung mengelilinginya. Matanya mengerjap membuang kejadian itu jauh jauh.

Saat Aletha melihat posisi ponselnya yang begitu naas tergeletak di lantai ia segera mengambilnya. Aletha dengan cepat memeriksa keadaan ponselnya berharap tidak terjadi sesuatu yang parah. Ia menghela nafas lega saat benda pipih itu dalam keadaan baik baik saja.

Dion hanya mengamati apa yang sedang Aletha lakukan sembari merapikan rambut jambulnya kebelakang.

Aletha langsung mendongkak, matanya tak lagi memancarkan kaget melainkan sebuah amarah. "Elo ya, gara gara lo gua hampir jatoh!"

Dion ikut membola, di sini ia lah yang dirugikan bukan Aletha namun mengapa Aletha yang marah. "Kok lo yang marah si? harusnya gua yang marah, karena lo, gua harus relain dada gua gak suci lagi cuma buat nahan badan lo biar gak jatoh. Harusnya lo makasih sama gua bukan marah marah!" Dion membela diri.

"Dan gua gak minta lo buat nolongin gua!" tindas Aletha.

"Dan seharusnya lo jalan itu pake mata." timpal Dion.

Aletha mendengus kasar, jika Fikri menyebalkan ternyata Dion lebih menyebalkan, Dion ini adalah jenis laki laki yang tidak pernah mau mengalah. "Helooo dimana mana jalan tuh pake kaki bukan pake mata."

Suara Aletha benar benar terdengar begitu meledek, Dion sangat yakin bahwa Aletha sedang tertawa diam diam. "Ya kali jalan gak pake mata gimana liatnya?" timpal Dion tak mau kalah.

"Oh ya?" Aletha menarik salah satu suduh bibirnya, seolah ia telah memiliki balasan agar Dion tak lagi membalas apa yang ia ucapkan. "Orang buta gak bisa liat tapi masih bisa jalan kok." Aletha menaik turunkan alisnya begitu terasa dirinya menang, salah satu sudut bibirnya naik . Setelahnya ia segera pergi sebelum Dion menimpali ucapannya.

⬛⬜⬛

Airell menarik sudut bibirnya saat ia menemukan Gavin, walaupun sebuah pemandangan menjijikan ada di sebelah Gavin itu tak menjadi alasannya untuk menurunkan senyum dan menghilangkan semangatnya yang baru saja ia bangun kembali.

Langkahnya di percepat untuk menyusul Gavin, kemudian menyelip diantara dua orang yang siswa lain anggap adalah sepasang kekasih.

Gavin dan Zevania kaget saat jarak yang mereka buat, lebih tepatnya yang Zevania buat sendiri dipisahkan oleh seseorang bagai sekat yang memisahkan dua ruangan.

A I R E L LWhere stories live. Discover now