23 || Bukan Dirinya

17 6 0
                                    

[jangan lupa VOTMENT!]
.

Ezra menepuk pundak putranya seolah olah ia bangga dengan anaknya. Amarah tak lagi menguasai hasratnya. Bibirnya tak berucap umpatan seperti biasanya melainkan seulas senyuman.  Gavin bersumpah bahwa senyum itu adalah senyuman yang paling tulus yang ia lihat setelah kepergian mamanya.

"Buat Airell semakin jatuh cinta kepada mu!" pinta Ezra, bibirnya kali ini menyeringai menampilkan gigi putih yang bersinar diantara ruangan yang redup.

Entah Gavin harus senang atau tidak saat papanya mengucapkan itu, namun jelas sekali bahwa papanya berharap lebih pada dirinya untuk melangsungkan niat jahatnya.

"Bagaimana?" tanya Ezra. Airell dapat melihat sebagaimana berharap Ezra padanya, begitu keji jika mengucapkan tidak, tetapi begitu menyiksa jika ia harus berkata iya.

Airell menyesap bibirnya sendiri, bimbang menguasai nya. Airell tidak pernah suka jika dirinya harus ditempatkan di kedua pilihan bagai tumpuan timbangan. Ia jelas tidak mau mengecewakan orang lain tetapi ia juga tidak mau dirinya semakin tersakiti.

Sebagian besar dari hati yang rapuh menginginkan Gavin namun ia tahu itu salah. Tetapi ia rasa ini bukan dirinya, menyerah pada sebuah takdir yang entah kemana alurnya, itu bukan ciri khasnya. Bukankah sejak awal Airell bertekad ingin mendapatkan Gavin apapun caranya? maka sangat payah jika ia harus berhenti di tengah jalan dan membiarkan takdir berjalan sesuai rencana.

Janji yang ia sudah tulis dalam buku diarynya mungkin akan ia ingkari kali ini, hati kecilnya masih menginginkan Gavin, walau ia sudah berjanji untuk melupakannya.

"Saya..." Airell diam sejenak, mencoba mengumpulkan tenaga untuk mengucapkannya, "Saya tidak berniat membatalkan pertunangannya," sambung Airell. Airell sangat yakin jika Gavin akan menganggap dirinya begitu tidak tahu diri. Tapi terserah apa yang akan Gavin pikirkan tentangnya, toh pertunangan ini sudah direncanakan sebelum Gavin menyatakan cinta pada Zevania, itu berarti yang salah bukanlah dirinya.

Regar tampak terkejut atas apa yang baru saja Airell katakan, kalimat yang menghasilkan sebuah keputusan yang entah benar atau salah. "Kau yakin?" Regar masih ragu dengan apa yang putrinya katakan.

"Sangat yakin," jawab Airell lantang seolah ia tidak ragu dengan pilihannya.

Ambisi Airell bukanlah sebuah janji kosong yang biasanya diucapkan pemuda sembrono di club club malam. Kadang kala Gavin tersenyum kecil saat mengingat kata terakhir yang Airell ucapkan dalam keputusannya.

⬛⬜⬛

Kabut masih mengembang di udara, suhu dingin mengiringinya. Pagi pagi sekali pemuda dengan hoodie tebal yang melindunginya kulitnya dari terpaan angin berjalan menyusuri koridor seorang diri.

Dion kali ini datang ke sekolah lebih pagi dari sebelumnya, ini semua akibat dari kakaknya yang menjahilinya. Ia mendengus saat mengingatnya, mengingat bagaimana wajah lusuh khas bangun tidur dengan aliran sungai kecil yang muncul disudut bibirnya.

Jika saja kakaknya tidak membangunkannya dengan alibi bahwa jam sudah menunjukkan pukul sembilan agar ia bangun lebih awal, mungkin saja ia saat ini akan berada disekolah bersamaan dengan datangnya teman teman.

Kursi panjang terbuat dari besi yang di satukan dalam rangka yang padu kemudian dicat dengan warna putih dan di simpan sepanjang jalan koridor agar anak anak dapat bersantai sebelum pelajaran berlangsung.

Dion mengambil posisi duduk, tangannya di tautkan dan disimpan diatas pahanya sembari mengamati beberapa siswa-siswi rajin yang berlalu-lalang sembari membawa beberapa buku atau sebuah jinjingan yang disi oleh sesuatu yang penting.

A I R E L LOnde as histórias ganham vida. Descobre agora