BAB 28

407 57 11
                                    

Sesampainya di markas, Gilga memarkir motornya sembarangan. Ia segera berlari menuju lantai tiga, dimana semua anggotanya berkumpul di sana. Saat menerima pesan, Gilga benar-benar menahan diri dan berusaha tetap tenang karena ia tidak ingin Avana khawatir. Gilga baru bisa mengekspresikan perasaannya saat dalam perjalanan. Ia memacu motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia bahkan hampir celaka beberapa kali.

"Ga!" Ivan segera menghampiri begitu Gilga menginjak tangga terakhir. Gilga tidak menyangka kerusakannya akan separah ini. Semua barang hancur berantakan. Dan yang paling membuatnya kesal adalah empat anak buahnya babak belur penuh luka.

Gilga menghampiri mereka. Dengan setengah jongkok ia lalu bertanya, "Ada yang merasa perlu dibawa ke rumah sakit?"

"Nggak, Ga. Kita masih bisa tahan." Salah satu dari mereka menjawab dengan napas berat menahan luka.

Dani lalu menyahut, "Mereka semua nggak apa-apa. Gavin sebenernya lukanya nggak separah mereka, tapi dia sesak napas terus pingsan begitu sampai sini. Gue takut ada apa-apa. Makanya, gue langsung suruh yang lain buat bawa di ke rumah sakit, tanpa ijin lo lebih dulu."

Gilga terkejut dan mengangkat sebelah alisnya. "Berapa orang yang jaga Gavin?"

"Nggak tahu, yang kelihatan cuman Ivan. Yang jelas lebih dari lima anak," jawab Dani dengan tegas. "Gue takutnya mereka di...."

Gilga lalu mengambil kotak obat di lemari lalu memberikannya kepada salah satu anak buahnya yang memiliki luka paling ringan. "Obatin luka kalian. Kalau udah selesai, kalian boleh pulang."

"Sumpah, gue nggak nyangka kalau Rendi bakalan minta bantuan SMK Angkasa buat serang kita kayak gini!" ujar Ivan dengan menggebu-gebu dan penuh emosi. "Ini pasti gara-gara...."

"Kita serang balik mereka sekarang." Tiba-tiba Gilga menyela dengan suaranya yang meski tenang, tapi terdengar penuh dendam.

"HAH, gila, ya lo?" Nada bicara Dani menaik dan matanya melotot kaget. "Kalau mereka bersatu, itu artinya kita kalah jumlah, bego! Belum yang lagi babak belur. Jauh banget jumlahnya."

Gilga menatap Dani sambil menangkat dagu. "Kalau lo takut, lo boleh pulang."

"Tapi, Ga." Ivan memihak ucapan Dani yang masuk akal. "Bener apa kata Dani. Sejago-jagonya singa, kalau dikeroyok juga bakalan kalah."

Gilga mengabaikan ucapan kedua kapten distrik tersebut. Ia malah berjalan menuju tangga sambil berkata, "Gue beneran nggak maksa."

Entah kenapa empat kata yang menjadi sebuah kalimat bernada santai itu terdengar seolah ancaman mengerikan di telinga semua anggota yang sehat segar bugar maupun yang tidak. Hening belum terpecahkan hingga Gilga tak terlihat lagi di tempat mereka masing-masing berdiri. Ivan lalu berlari melihat Gilga yang tengah menghidupkan mesin motornya. Mereka benar-benar berada di posisi yang sulit.

Sebagai anggota Flamma, tentu saja mereka tidak terima dengan penyerangan dan pengerusakan ini. Namun juga disatu sisi, selain secara logika jelas kalah jumlah, mereka juga sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk melakukan balas dendam. Tidak ada nada bercanda dari perintah pemimpin tertinggi. Setelah selama lima belas detik mereka berdiskusi dengan saling melempar pandang. Akhirnya keputusan pun diambil.

Semua anggota yang tersisa kompak menuruti perintah Gilga. Mereka beramai-ramai menyusul Gilga yang masih berhenti di depan gerbang markas, menunggu celah untuk menyeberang. Ekspresinya datar dan pergerakannya tenang – namun itu justru membuatnya terlihat sangat menyeramkan.

"Thanks," ujar Gilga saat Dani berhenti di sampingnya.

"Tunggu sebentar, gue cari tahu dulu dimana mereka." Dani lalu merogoh ponsel di sakunya.

"Nggak perlu," ucap Gilga menghentikan pergerakan Dani. "Kita serang markas Rendi dulu."

"HAH? Yakin lo? Kita sama sekali nggak punya rencana." Gilga benar-benar tidak dapat ditebak.

"Sejak kapan berantem butuh strategi?" balas Gilga membalikkan ucapan Dani waktu itu lalu mendahului menyeberang.

Dengan frustasi Dani menyusul. Gilga bersikap keras kepala dan berani di saat yang tidak tepat. Ia sama sekali tidak memiliki ide tentang dimana keberadaan kedua geng sekolah itu sekarang. Jika mereka berada di markas masing-masing, setidaknya mereka masih bisa menggunakan mode bertahan. Tapi jika mereka masih berkumpul bersama, maka semua akan bergantung kepada pemimpin tertinggi mereka, Gilga Alastair Regardi.

Sampai di dekat markas geng SMK Angkasa, Gilga melihat jumlah motor lebih banyak daripada biasanya. Itu berarti beberapa anak dari SMA Bakti yang berada di sana. Gilga menoleh kepada anak buahnya. "Mumpung masih disini, gue bener-bener nggak maksa kalian ikut sama gue."

"Yang bener aja lo pikir kita pecundang, huh?" Ravi turun dari motor lalu diikuti yang lain. Mereka melakukan peregangan lalu mencari barang apa saja yang ada di sekitar sana untuk dijadikan senjata dan pelindung. Sudah lama mereka tidak melakukan hal ini. Selama ini Flamma memiliki nama besar dan terkenal sulit ditaklukan. Sekolah lain akan berpikir berulang kali untuk mencari gara-gara dengan mereka.

Gilga terkekeh melihat tingkah anak buahnya. Awalnya Gilga melihat jelas keraguan di wajah mereka, namun sekarang justru berbanding terbalik – mereka semua terlihat bersemangat dan siap. Memang secara fakta mereka kalah jumlah, bukan berarti alasan untuk menyerah begitu saja. Lagipula ia tidak bisa menahan rasa kesalnya terhadap kedua geng tersebut. Jika tidak segera membalas dendam, Gilga tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini. Melihat anak buahnya terluka dan juga sahabatnya yang sampai harus dibawa ke rumah sakit. Gilga tidak berniat berbelas kasih.

"Do what ever you want. No mercy." Kalimat penutup yang diucapkan Gilga kemudian menendang gerbang markas SMK Angkasa yang merupakan gudang rongsokan besi. Semua berkumpul mengikuti Gilga menyusuri jalan dengan cahaya remang. Tak lama ia melihat beberapa anak yang sedang berkumpul di depan gedung. Mereka terkejut dan sebelum kabur terlalu jauh, Gilga menyerukan sebuah perintah dengan tegas. "CHARGE!"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now