18| Behind

7.5K 1.3K 424
                                    

Voter ke berapa nih?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Voter ke berapa nih?


Elena tidak henti-hentinya mengumpat di dalam taksi, tangannya menggenggam kesal ponselnya semenjak ia menerima telepon Jackson tadi. Terhitung, Elena masih bisa memasang wajah tenangnya dan mengatur napasnya saat supir taksi itu memastikan keadaannya dari kaca spion—tentu ia tidak ingin memancing sebuah topik beramah tamah dengan situasi seperti ini. Tetapi, sorot matanya tidak dapat berbohong saat ia menoleh ke arah sisi jendela. Berbagai macam hal tengah mengambil alih setiap neuronnya hingga kepalanya berkedut pening.

            Oh, percayalah. Barangkali Elena memang mengakui jika dirinya gagal untuk menuntaskan tugas ini. Akan tetapi, seperti sebuah kotak permen di mana kau akan menemukan satu rasa yang sangkat kuat, Jackson jelas memiliki predikat Sword yang menakutkan dan disegani . Dia, benar-benar berteman dengan dewa kematian.

            Dengan cepat Elena turun dari taksi, mendongak singkat guna mengikuti tinggi bangunan besar yang menjulang ke arah langit di depannya. Dengan perasaan yang membuncah, Elena memaksa langkah kakinya masuk ke dalam sebuah lobi gedung apartemen sebelum bergegas masuk menuju lantai flat Jackson. Elena berani bersumpah ia akan memberikan pelajaran yang setimpal bagi Jackson jika pribadi itu menolak untuk menemuinya. Beruntungnya, ketika Elena berdiri dan mengetuk papan kayu itu dengan keras dan beruntun, derit pintu tiba-tiba mengudara. Mata Elena yang kembali berkaca-kaca merangkum Jackson yang tengah menatapnya di sana, seakan sudah menebak jika Elena akan menyusulnya sampai sini.

            Tanpa dikatakan pun, Elena tahu apa maksud Jackson dari tatapannya. Bahkan spekulasi itu diperkuat saat Jackson mengatakan, "You free to go and live, El."

            Elena sangat tidak menyukai apa yang tengah ia saksikan saat ini. Kalimat yang Jackson ucapkan tidak membuat perasaannya membaik, tetapi malah terasa semakin sesak. Mata Elena berkilat-kilat, aroma pinus yang merembes dari arah dalam apartemen Jackson merangsek ke dalam penciumannya yang perlahan sumbang.

            "I got this," kata Jackson bersamaan memegang kedua sisi lengan atas Elena dengan meyakinkan, kendati ekspresi yang ia suguhkan terasa begitu acak, "Kau tidak perlu memikirkan apapun, dan segeralah pergi."

            Apakah kau pernah terombang-ambing di tengah kolam air dengan sebuah ban karet? Ingin menepi tetapi tidak memiliki kayuh, ingin berenang tetapi tidak tahu seberapa jauh daratan. Mungkin, seperti itulah titik emosional Elena tengah diuji kali ini. Elena bingung harus memposisikan perasaan dan jawabannya seperti apa. Dengan rahang yang bergetar, Elena menggeleng dengan tatapan kosong, ludahnya terasa getir memenuhi mulutnya saat ia berucap, "Apa kau berpikir aku akan menerima keputusanmu?!"

            "Lalu apa kau bisa menyelesaikan tugasmu malam ini?" sergah Jackson cepat hingga Elena seakan terjebak dengan posisi dan kalimatnya sendiri.

            Jackson, yang sejatinya ingin menegaskan ini dengan benar, ternyata tidak bisa seceroboh itu untuk mengatakannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap menyelesaikan ini dengan baik, "Jika kau tidak ingin pergi, apa kau bisa membunuhnya malam ini juga?" Jackson mengulangi kalimatnya dengan mata lebih menelisik, mencari-cari maksud tatapan Elena di tengah genangan air matanya. Hingga Jackson pada akhirnya mengembuskan napasnya, berusaha tenang bersamaan memegang lengan Elena dengan cengkraman lembut, "Kalau tidak bisa melakukannya, pergilah sekarang," jedanya, "Hanya dua pilihan itu yang kau miliki."

Arcane | ✔️Where stories live. Discover now