Bab. 4

430 48 2
                                    

Pasangan ini belum menyadari bagaimana kemurkaan Tuhan dan tentunya almarhum orang tua Sena yang begitu kecewa saat melihat kelakuan putrinya yang begitu keji.

Akbar menggeliat pelan seraya mengingat sesuatu, saat menoleh ke samping tatapannya lengkat pada sosok yang masih memeluk dirinya seperti guling. "Cantik," tak sengaja Akbar memuji Sena yang menggeliat pelan. Tangannya menyibak helain rambut yang menutupi wajah berisi Sena. Hingga Sena merasa sedikit nyaman akan sentuhan jemari Akbar yang menurut Sena seperti sentuhan ayahnya.

Sena membuka matanya perlahan seraya mencari sosok yang ia sangat rindukan selama ini. "Ayah," ucap Sena lirih pelan saat tau pria di hadapannya ini adalah orang lain. Sena mendesah lemah.

"Kamu kenapa?" tanya Akbar merasa aneh dengan gelagat Sena yang tiba-tiba menjadi sendu.

Sena menatap lekat Akbar dan mencoba mengingat sesuatu. Tubuhnya terperanjat kaget saat ingatannya telah pulih kembali. Perlahan-lahan tangannya mencoba meraba-raba tubuhnya, Sena menunduk menatap seluruh tubuhnya. Sena lemas saat warna merah yang sedikit memudar mewarnai tubuhnya. "Tubuhku kamu apakan?Kenapa bisa merah-merah kayak gini?" Tanya Sena dengan mempertontonkan warna itu sebagai bukti di hadapan Akbar yang masih bungkam.

"Nanti juga akan hilang," ucap Akbar beranjak berdiri ke kamar mandi, waktunya membuang jejak sisa percintaan tadi malam.

"Elo mau kemana?" Sena langsung bertindak dengan cepat saat melihat pergerakan Akbar. "Tunggu! Gue belum selesai bic ...arghhh," jerit Sena saat vaginanya terasa sangat perih dan lecet.

"Sakit banget! Elo apain sih vagina gue." Akbar mengangkat Sena ke atas ranjang. "Berarti kamu masih perawan kalau sakitnya kayak gitu," jelas Akbar seraya memunguti pakaian yang berserakan karena ulahnya semalam.

Melihat Sena seperti ini Akbar menjadi tak tega, ini semua juga karena ulahnya yang tidak sabaran. Pakaian sudah melekat sempurna meskipun sapuan air belum membersihkan dari sisa cairan semalam yang masih menempel di tubuhnya. Dengan hati-hati Sena memakai baju meskipun terasa sangat perih.

"Ini ada jas buat nutupi lehermu." Tangan Akbar menyodorkan jas itu kearah Sena yang masih berjalan terseok-seok.

Sena menerimanya dengan sedikit kasar dan memakainya asal-asalan. Dilangkah ke 4 Sena teringat sesuatu. "Tunggu dulu! nama elo siapa? Dari semalam kitakan belum kenalan. Elo gak lupakan sama permintaan gue." Tagih Sena seraya tersenyum simpul, mengingatkan janji Akbar semalam. 

Akbar merogoh dompetnya dan memberikan sebuah kartu nama. "Akbar Prabu Baskoro." Sena tersenyum puas dan mendekap kartu nama ini dengan binar kebahagiaan.

Harta karunku!

                                *******

Akhirnya dengan bersusah payah Sena bisa keluar dari tempat yang tidak akan pernah bisa dilupakan dalam beberapa hari ke depannya. Sena berpikir sebentar tujuannya saat ini belum ada dan tak tau harus naik apa karena uang sepeserpun tidak ada dalam genggamannya.

Sena menatap mobil yang keluar dari hotel ini dan tampak bayangan Akbar yang sedang menyetir. Dengan langkah besar Sena menghampiri mobil itu sebelum berjalan keluar dari tempat ini. "Om buka pintunya," ucap Sena seraya mengetuk kaca mobil dengan tidak sabaran dan mengganti sebutan agar lebih sopan, agar Akbar menyambutnya dengan senang.

Akbar yang merasa terganggu dengan keberadaan Sena yang dadakan terpaksa membukakan pintu mobil. "Om aku mau minta rumahnya sekarang." Akbar menoleh secepat kilat, baru kali ini ada wanita yang sangat tidak sabaran. Membeli rumah dalam waktu sehari, itu sangat sulit dan nihil. "Beli rumah itu tidak semudah membeli permen di warung. Lain kali aja, nanti kamu tinggal milih yang kamu ingin kan."

Rasa Yang Tertunda [ On Going  ]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon