Bab. 3

487 58 1
                                    


Aku telah terbebas dari sangkar burung yang mengurungku. Meskipun aku tidak tau kehidupanku ke depannya. Aku yakin pasti Adel lihat kejadian tadi makannya dia jadi kayak kesetanan. Meskipun aku jijik dengan kelakuan Edo, tapi tidak papa. Hari ini aku melihat Adel begitu marah besar dan itu semua karena kesengajaan Edo. Kejadian tadi sangat memuaskan.

"Sejak kapan elo di sini?" kaget Dian melihatku duduk di kursi depan kamar kostnya. Aku memutuskan pergi ke kost Dian untuk mencari jalan keluar sekaligus menumpang tidur.

"Gue di usir."

"Syukur deh, sekarang elo maunya gimana," ucap Dian seraya membuka pintu kamar.

"Kayaknya gue butuh pekerjaan."

"Gue gak bisa bantu. Elo aja nolak saran gue waktu itu."

"Gue gak bisa kerja kayak gitu."

"Gue beri tau. Di tempat kerja gue itu banyak om-om yang banyak duit sekali elo layani dia gak cuma-cuma kasih duitnya."

Apa iya yang di katakan Dian. Sebenarnya aku sedikit tertarik, tapi kalau dapatnya om-om bandot tua masak iya seorang Sena melayani kakek-kakek. "Untungnya besar. Semalam kerja hasilnya dapat rumah, mobil dan gak akan hidup susah," bujuk Dian sekali lagi.

Pertahanan ku runtuh seketika saat mendengar semua impian ku akan segera terwujud. "Gue mau, tapi apa gue harus pakai baju yang biasanya elo pakai?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya Dian memakai baju yang sangat pendek dan super ketat di tambah high hels yang sangat runcing. Aku tak terbiasa memakai pakaian yang selalu di kenakan Dian menurutku pakaian itu sangat menjijikan dan tidak pantas untuk di kenakan.

"Kalau elo pakai baju yang tertutup mendingan elo pergi ke masjid sama ibu-ibu dengerin ceramah pak Ustadz."

"Iya-iya gue bakalan nurut sama perintah lo."

"Nanti malam siapkan banyak tenaga," ucap Dian seraya menakut-nakuti ku.

Aku merasa sangat gugup dan tidak pede berpenampilan seperti ini, tapi ini semua aku lakukan hanya untuk menjemput harta karun yang selama ini menantikan diriku.

"Elo sudah siapkan?"

"Gue takut."

"Alah santai aja mereka gak akan bunuh lo."

"Iya-iya. Kita naik apa?"

"Tenang aja gue sudah pesan taksi. Pasti sudah nunggu di depan," ucap Dian menggandeng lenganku seraya berjalan ke arah taksi.

"Ke tempat seperti biasa, Pak."

"Baik, Mbak."

"Sama siapa Mbak?"

"Teman kerja."

"Mbaknya cantik," puji sang sopir seraya menatap Sena sekilas.

Dian menyenggol lengan ku. "Barusan elo dipuji sama sopir ini. Kayaknya nanti banyak banget yang tertarik sama lo," bisik Dian yang hanya bisa di dengar mereka berdua.

"Sudah sampai Mbak. Kapan-kapan temenin saya semalam, ya mbak," goda Pak sopir yang tidak ingat keluarga di rumah.

"Situ punya uang berapa," balas Dian.

"Saya cuman becanda, Mbak."

Sena dan Dian memasuki club malam yang sangat terkenal hingga terdengar di telinga pemimpin besar tak hayal banyak orang-orang yang berbondong-bodong untuk sekedar bersenang-senang di tempat ini.

"Dian tempatnya emang kaya gini?"

"Ini itu club bukan kafe. Tempat ini itu bagus banget untuk mengeluarkan beban hidup kayak beban lo," ucap Dian sambil meliak-liukan tubuh langsingnya mengikuti alunan musik yang membuat telingaku hampir pecah.

Rasa Yang Tertunda [ On Going  ]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα