Bab. 1

815 78 10
                                    










Namaku Senara biasa di panggil Sena. Kehidupanku sangat mencekam saat ayah pergi meninggalkan aku sendiri di umurku 16 tahun sedangkan, mama telah pergi lebih dulu saat usiaku 14 tahun. Ayahku menikah lagi setelah mama meninggal dengan seorang janda yang sangat munafik. Setiap hari dia hanya memarahi dan membandingkan aku dengan putrinya yang sok cantik dan sok-sok lainnya.

Hari ini aku harus melayani mereka sebagai nyonya di rumah ini. Di rumah ini aku hanya menumpang, tapi uang yang digunakan membeli rumah ini sebagian dari uang ayahku.

Ide jail telah merasuki otakku yang pas-pasan ini. Ku taburi menu favorit si peot-peot itu dengan serbuk ajaib dan suara kicauan akan terdengar hingga halaman depan.

"Sukurin! Makanya kalau makan itu bagi-bagi, situ makan bakso gue sendiri makan mie instan itukan gak adil," ucapku seraya menaburi garam di mangkok mereka berdua.

"Ini uang buat satu bulan jangan boros-boros," ucap Tanti seraya menyodorkan uang 100 ribu ke arah ku.

Kalau aku gak butuh pasti uang itu bakalan ku robek di depan matanya yang sok polos itu. Adel datang sangat rapi, wangi dan sangat elegan dia melanjutkan kuliah di universitas negri. Banyak tetangga yang memujinya banyak yang ingin meminta Adel menjadi menantunya. Semua pujian terus mengarah ke Adel sedangkan, aku hanya sapaan ejekan yang keluar di mulut mereka.

Aku berlalu pergi dan duduk sebentar di teras ingin menunggu suara yang hampir mirip toa.

"Sena dasar anak kurang ajar. Bisa-bisanya mengerjai kita." Tanti berjalan tergopoh-gopong dengan amarah yang siap membludak.

Aku berlari dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah neraka yang selama ini membuatku terpenjara. Aku sebenarnya muak ingin pergi dari tempat yang mirip seperti neraka ini.

Papa sama mama adalah anak tunggal, nenek sudah meninggal dan peninggalan rumahnya sudah di jual ayah. Sanak saudara tidak mau menampungku karena beralaskan ekonomi.

Dan mereka itu mau menerimaku dan mau membiayaiku, tapi hanya sampai lulus SMA. Sebenarnya aku ingin berkuliah, tapi terkendala karena biaya dan otakku yang pas-pasan.

Aku berjalan menuju tempat kerjaku sebagai karyawan cuci piring di warteg yang cukup terkenal. Buk Wati, pemilik warteg ini yang sudah mengenalku sejak lama jadi dia sangat tau masalahku tak jarang aku sering curhat tentang masalahku selama ini yang selalu ku pendam sendiri.

"Sen, ibu mau bicara sebentar. "Bu Wati merasa bimbang ingin mengutarakan masalahnya selama ini.

"Ada apa Bu." Aku mendekati Bu Wati yang seperti gelisah.

"Begini ...bukan maksud ibu untuk memecatmu, tapi semakin hari pelanggan yang makan ke sini menurun. Jadi, ibu hanya memberhentikan kamu semen---"

"Enggak papa Bu mungkin ini bukan rezekiku," ucapku pasrah. Satu bulan ini banyak pelanggan jarang ke sini. Banyak restoran yang membuka dengan menu baru dan cara penyajian yang unik membuat warung makan ini harus tersaingi.

Aku harus gimana lagi sekarang ijazah SMA dapat kerja dari mana. Pekerjaan ini aku dapat karena Bu Wati merasa kasihan karena aku. Mau membantah, tapi Bu Wati mempunyai banyak karyawan dan itu pasti membebani pengeluaran keuangannya.

"Cucinya juga sudah selesai aku pamit dulu." Ku lepas celemek ini seraya menghela nafas kasar.

Bu Wati datang dan memberikan aku sebuah amplop putih pasti itu pesangon. Aku menerima dengan berkecil hati. Kalau aku tidak bekerja di sini aku harus bagaimana lagi. Si Tanti hanya menjatah uang 100 ribu sebulan buat makan 5 hari aja langsung habis. "Makasih Bu."

Rasa Yang Tertunda [ On Going  ]Where stories live. Discover now