12. Hilang Kendali

Start from the beginning
                                    

Mungkin karena mendengar namanya disebut Parkit itu menyebut nama panggilan sayang papanya pada putri semata wayangnya. Papanya nyebut namanya dengan 'Live' dua kosakata.

'Liv' lalu 'e'

Kata papanya maksud nickname khusus untuknya dari bahasa Belanda 'lieverd' artinya; kekasih.

Olivia tertawa dan menyempatkan menyapanya. Si parkit kegirangan dengan ngusel-ngusel paruhnya ke jemari Olivia.

"Kamu nggak usaha ngerebut Papa dariku, kan Jo?" Seolah mengerti pembicaraannya, si parkit seketika menegakkan badannya. Mengangkat salah satu kakinya. Jambulnya mengembang sambil mengeluarkan jeritan uniknya. Olivia tertawa geli sampai air matanya keluar lagi.

Papanya merangkul dan mengusap pipinya.

"Air mata ini haruslah kebahagiaan bukan malah sebaliknya!"

Olivia termangu.

Papanya menghela nafas lalu membimbingnya menuju pantry. Aneh, ya? Papa itu Jawa tapi memilih desain rumah ala barat. Papanya membawanya ke dapur bersih. Lengkap dengan meja makan.

"Yuk! Kamu harus makan masakan Papa kali ini! Sementara Papa menyelesaikan masakan, Liv-e bisa icipin skutel!" Menarik kursi dan mendudukkan Olivia disana. Tuh kan! Menu masakan aja khas dari Belanda.

Wuah!

Bukan hanya schotel tapi ada coklat juga.
Sebentar!

Infus water dengan potongan lemon, strawberry, dan lembaran daun mint?

Schotel jagung dengan topping sambal korek?

Coklat D* Ruijt*er? Merk ini?

Tidak!

Olivia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ya Tuhan.. ada saja hal-hal kecil yang mengingatkan tentangnya. Semakin ia berusaha melupakan semakin kuat kenangan itu teringat. Olivia percaya sekarang ungkapan tersebut bukan mengada-ada. Pengalaman hidup rupanya.

Olivia mencoba melepaskan ketegangan lehernya dengan menggerak-gerakkannya dibantu topangan tangannya. Sesaat memejamkan mata. Saat matanya terbuka pandangannya tertuju pada sepeda tua di pojok sana. Yang biasanya digantung tapi kali ini terparkir di lantai.

"Pa, sepeda ini bisa dipakai?" Olivia mengamati sebentar lalu menggerakkan setangnya.

"Ehm..! Lhoh.. kamu belum makan satupun, Liv-e Sayang?"

"Ntar dulu, Pa!" Duh, Papa bukan mengalihkan pembicaraan tapi mengingatkan perhatiannya pada hal remeh tentang seseorang itu... hiks!

"Kapan kita bisa olahraga bareng, Sayang? Papa sudah membawanya dari sepekan kemarin keliling komplek! Lumayan bisa me-refresh semangat sama anak-anak... dan bisa ketemuan sama teman-teman seumuran Papa..!"

Wah! Papanya semangat sekali bercerita. Olivia mengikat rambutnya lalu naik sepeda itu. Maju-mundur.

"Asyik juga, ya Pa? Nanti sore gimana, Pa? Si browntown masih setia, kan Pa?" Olivia menyebut sepeda mahal bewarna keemasan. Memelesetkan nama merknya. Tapi sepeda kesayangan papanya itu memang mahal. Tidak mau kalah sama merk sepeda yang pernah diselundupkan di bagasi pesawat. Kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.

Papanya seketika tertawa.

"Liv-e! Mending bawain ini ke ruang tengah, nih biar ada teman buat ngemil!" masih dengan ketawanya.

"Memangnya ada tamu, Pa? Pantesan ada suara tv dari sana.. punya tivi baru, Pa?" Olivia mendekat ke arah Papanya. Pasti teman dekat kalo di ruang tengah. Ruangan keluarga. Karena dari dulu, keluarganya menerima tamu di ruang depan. Ruang tamu. Bukan di ruang tengah.

Gadis Lukisan AndiWhere stories live. Discover now