Bab 4

24 7 1
                                    

Ayla mengembuskan napas. Dia tidak boleh secepat itu mengeluh, apalagi menyerah. Apapun yang terjadi dulu, yang terpenting adalah, kamar ini milik Ayla untuk seterusnya. Selagi bisa, kenapa tidak membuatnya makin nyaman saja? Gadis itu tersenyum tipis lalu menguncir tinggi rambutnya.

Tunggu. Ayla harus mandi dulu.

Setelah membersihkan diri, Ayla megenakan kaos putih sepaha dan celana pendek. Tas besarnya ia pinggirkan, lalu mulai menyapu lantai dan mengepelnya. Setelah cukup bersih, kamar ini terlihat cukup luas. Tidak buruk juga, pastinya rumah ini tidak murah, karena sudah ada lemari dan single bed di sini. Ayla tinggal merapikan pakaian, lalu menata tempat tidur, dan menempel beberapa stiker. Gadis itu bahkan menambahkan beberapa gantungan baju.

Sampai akhirnya kamar yang tadinya lusuh dan tidak bercahaya itu menjadi kamar nyaman bernuansa hitam dan putih. Beberapa foto Polaroid, poster-poster buku, film, dan ada juga catatan rumus-rumus milik Ayla, tertempel rapi di dinding. Lemari kecil di ujung kamar Ayla rubah menjadi tempat dia meletakkan buku-bukunya yang banyak.

Untung saja Ayla tidak lupa membawa beberapa poster kesayangannya saat berkemas. Karakter Ayla yang rapi membuat sekitarnya menjadi nyaman.

Gadis itu kini berbaring telentang di atas ranjang. Mengambil banyak oksigen dengan rakus.

Setelah ini, ayahnya Ayla akan bekerja apa? Apa Ayla bisa membantu mereka? Tapi bagaimana?

"Ayla?" Panggilan itu diiringi dengan ketukan pintu dari seseorang di luar. Ayla melangkahkan kakinya dengan malas untuk membuka pintu. Lalu terlihatlah Pak Brama, ayahnya Ayla, sedang membawa sebuah rak buku kecil.

"Nak, ini rak buku. Ayah dapat di bawah, untuk kamu saja."

Sebenarnya Ayla cukup prihatin karena rak buku itu hanya terdapat empat slot yang cukup kecil. Bahkan beberapa sisi terdapat bagian yang terkelupas. Sangat jauh jika dibandingkan dengan lemari rak bukunya yang besar dulu.

Oh, tunggu! Ayla ingat! Buku-buku novelnya cukup banyak dan masih bagus, ia bisa menjualnya untuk menambah biaya hidup. Gadis itu mengambil rak buku dari tangan ayahnya dengan senyuman lebar, lalu mengucap terima kasih kepada ayahnya yang sangat hebat itu.

Dia lanjut membenahi kamarnya sampai sore hari.

****

Setelah menimang berjam-jam, akhirnya, di sinilah Ayla berada. Di depan sebuah Alfamart dengan tekad bulat mengepul. Didorongnya pintu kaca bertuliskan tarik. Gadis itu berdecak. Kesalahan umum yang sering terjadi.

"Selamat datang, Kak, ada yng bisa kami bantu?"

Selama beberapa detik, Ayla mematung. Lalu ia tersenyum canggung sambil mendekati mba-mba kasir yang tadi menyapanya. "Emm ... aku lihat, di sini membutuhkan pegawai, ya, Kak?"

"Oh, iya, Kak. Kakak lulusan mana?"

"Ma-masih sekolah, Kak."

Mba itu terdiam sebentar, lalu menyuruh Ayla menunggunya. Terlihat, Mba tersebut mendial nomor telpon dan menghubungi seseorang. Ayla tidak dapat mendengarnya dengan jelas karena mba itu menjauhi Ayla saat mengobrol.

Jantung Ayla bertabuh keras. Dia tidak tahu harus apa sekarang. Seharusnya Ayla mencari tempat makan atau toko kecil saja. Bukan malah ke Alfamart yang notabennya mementingkan peraturan.

Mba-mba itu kembali bersama seorang lelaki dengan tampilan rapi. Sepertinya manager di sini.

"Hai, Nak. Saya Amir, manager di sini. Boleh saya bertanya beberapa hal?"

Ayla mengangguk kaku.

"Boleh saya tahu, kenapa kamu ingin bekerja?"

"Ma-mau bantu ayah ...."

"Ada apa dengan ayahmu?"

Oh, Tuhan, jantung Ayla semakin riuh. Meski Ayla tahu ia tidak usah gugup dan takut, karena apapun itu, dia melakukannya dengan niat baik.

"Kondisi perekonomian keluarga kami menurun drastis, sedang saya bersekolah di sekolah mahal. Apalagi saya tidak bisa keluar dari sekolah karena sudah memasuki kelas 12. Jadi ... saya pikir, saya bisa bekerja sembilan."

"Memangnya kamu di sekolah mana?"

"SMA Swasta Barawijaya, Pak."

Orang itu nampak mangut-mangut. Tentu, siapa yang tidak mengenal sekolah dengan SPP mahal itu? Sekolah elite yang memiliki sistem paling aneh.

"Baik, kamu-"

Bel di depan pintu berbunyi, menandakan kalau pintu tersebut mendapat pergerakan. Seorang lelaki dengan hodie cokelat nampak terlihat bingung karena suasana di dalam Alfamart yang kebetulan isinya hanya Ayla, Pak manager, dan Mba-mba penjaga kasir saja.

"Ayla?"

****

"Dari mana saja, kamu, Nak?"

Ayla menghentikan langkahnya. Lalu berjalan mundur dengan riang. Sisi lain Ayla yang hanya bisa dilihat saat gadis itu teramat senang. Seperti sekarang.

"Maaaaaa!"

Melihat anaknya sangat antusias, Bu Devi mengerutkan keningnya.

"Kenapa, La? "

"Ayla ... dapet ... kerjaan! Yeay!"

Bukannya senang, Bu Devi malah terlihat murung. Beliau merasa Ayla menjadi menderita karena ini. Apa mungkin, tawa Ayla yang sekarang adalah tawa kebahagiaan? Bukannya sekarang tawa sering berkedok? Bu Devi tidak tahu itu.

"Nak, mama ikut senang. Tapi ... bukannya itu akan mengganggu sekolahmu?"

Ayla tersenyum semanis mungkin, lalu memeluk ibunya. "Maaaa, Ayla nggak memaksakan diri, kok. Ayla mau belajar mandiri, mungkin ini kesempatan yang dikasih Tuhan buat Ayla sendiri. Mama nggak perlu khawatir, Ayla beneran seneng. Soal pelajaran, beuh ... jangan ditanya, Ayla kan pinter, Ma. Hehe ...."

Bu Devi mengusap rambut anaknya. Beliau bangga karena Ayla bisa beradaptasi lebih cepat. Padahal, ini baru hari ke tiga mereka hidup sederhana. Setetes air mata turun. Orang tua mana yang tidak senang dengan anak pengertian seperti Ayla?

"Semoga kamu selalu bahagia, ya, Nak."

Momen anak dan ibu itu terganggu karena kedatangan seseorang dari pintu masuk rumah mereka. Seorang lelaki membawa barang-barang bawaan dengan semangat. Dia tersenyum lebar saat melihat Ayla dan Bu Devi yang sudah mengurai pelukan mereka.

"Ayla, Mama, bantuin Ayah, sini!"

Bu Devi dan Ayla terheran melihat barang-barang yang dibawa Pak Brama, ayah Ayla.

"Papah bawa apa? Kok malah belanja, sih, Pah?" tanya Bu Devi sambil mengambil beberapa kresek dari ayah.

"Loh, Vi. Ini bukan belanjaan. Ini tuh beberapa perabotan yang ketinggalan di rumah. Termasuk beberapa baju dan buku. Sayang, dong, kalau yang beginian dibuang sama pembeli nanti, jadi aku ambil aja." Jelas Pak Brama.

Ayla segera membuka kardus yang isinya berupa buku dan baju-baju Ayla. Senang sekali rasanya. Memang kemarin ada beberapa baju yang Ayla tinggal karena menurut Ayla, baju itu kurang pantas dipakainya dalam keadaan 'kurang'. Yah ... kemarin Ayla sempat berputus asa.

"La, masih ada yang ketinggalan?"

Ayla menggeleng senang. "Nggak, Yah."

Mereka mulai mendekorasi ruangan-ruangan yang ada di rumah. Untung saja Ayla cukup suka mendekorasi, apalagi jika ruangannya cukup kosong seperti rumahnya sekarang.

Ayla mulai menerimanya. Besok dia harus sekolah, itu berarti, satu masalah kembali muncul.

Uang sekolah.

****

Karya dari team Glowie-Glo✨
Stay tune 😊
Don't forget Comment and vote
Bye, see you👋

Senjang yang DiperjuangkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang