Bab 1

66 15 5
                                    


Langkah kakinya terlihat ringan di lorong itu. Gadis itu bersenandung sambil menjentikkan jarinya. Hari pertama pembelajaran semester baru, sebagai siswi kelas XI ia cukup beruntung karena mendapatkan kelas khusus.

Langkahnya berhenti di dekat kerumunan siswa-siswi lainnya. Gadis itu mengerutkan kening. Karena penasaran, ia pun ikut berdesakkan sampai berada di depan papan pengumuman. Gadis itu berseru heboh dalam hati. Itulah yang dia cari sedari tadi.

Telunjuknya menyusuri daftar nama-nama murid yang masuk di kelas XI A IPA 1. Karena tidak mendapati namanya, dia pun beralih ke lampiran kelas sebelah. Hingga di kelas XI C IPA 1, ia menemukan namanya yang tertera. Ayla Davira Fradella.

Setelah mengingat informasi yang didapat, Ayla kembali berdesak di antara kerumunan yang semakin menjadi. Dirinya yang berhasil keluar pun menguncir rambutnya karena hari menjadi sangat gerah.

Ayla kembali melanjutkan langkah sembari meneliti papan nama kelas-kelas yang ia lewati.

“Eh, tunggu!”

Awalnya, Ayla tidak mengindahkan seruan itu. Sampai ketika tasnya ditarik dari belakang, membuat gadis itu mendesis kesal. Ia pun berpaling.

Netranya bertemu dengan netra seorang lelaki tampan. Lelaki itu tersenyum ke arahnya. Karena kepercayaan diri Ayla yang tinggi, gadis itu sudah memperkirakan kalau lelaki tersebut tertarik padanya. Kalau tidak mengajak kenalan, pasti minta nomor Whatsapp. Ayla yakin itu.

“Kenapa?”

“Ini, name tag lo jatoh.”

Diluar dugaan, lelaki tersebut berpaling dan meninggalkan Ayla yang cengo setelah mengembalikan name tag-nya. Beberapa detik kemudian, gadis itu tersadar dan menormalkan ekspresinya. Dia berusaha berpikir positif kalau penglihatan lelaki itu kurang dan lupa membawa kacamatanya.

Beberapa menit Ayla melangkah, ruangan yang ia tuju sudah terlihat. Satu tahun Ayla sekolah di sana, tidak membuatnya hafal akan letak ruangan-ruangan. Bagaimana tidak, sekolah itu sangat luas. Terdapat tiga kantin dengan kantin utama yang luasnya melebihi dua kelas jika digabungkan.

Ada tujuh papan pengumuman sekolah, dua ruang BK, dan pembagian kelas khusus. Adapun kelas ekonomi dengan delapan belas kelas khusus per jurusan, dan sembilan kelas ekonomi per jurusan juga. Bisa dibayangkan, seberapa luasnya sekolah itu?

Kalau dipikirkan, sekolah itu bahkan mempunyai lift untuk akses naik turun lima lantai gedung itu. Tapi sayang, lift itu hanya bisa dipakai oleh murid yang berada di kelas khusus. Elitenya sebuah sekolah, tidak menjamin kenyamanan setiap murid. Sistem sekolah yang dibuat sedemikian rupa oleh direktur, membuat banyak murid kelas ekonomi mengeluh.

Ayla bukan orang yang peduli dengan hal seperti itu. Ia cukup bersyukur karena orang tuanya dapat membiayai kelas khusus yang ditempatinya. Itu juga sepadan dengan prestasi yang dicapai.

Sesampainya di kelas, Ayla kembali mencari namanya di lembar tata tempat duduk yang tertempel di jendela. Barisan kedua dari depan di samping jendela kanan. Gadis itu bersyukur dalam hati. Ia pun memasuki kelas, menempatkan tas dan dirinya di kursi yang nyaman itu. Mengingat kursi dan meja di kelas ekonomi yang cukup membuat orang tidak merasa nyaman, Ayla mendesah. Tidak tahu bagaimana rasanya belajar di ruangan pengap tanpa pendingin ruangan itu.

Gadis itu berdecak sebal. Kenapa juga dia tadi harus tersesat dan melihat keadaan di kelas ekonomi? Itu menyebalkan karena Ayla tidak suka berempati.

Perhatiannya pun beralih ke bangku dengan tas hitam di samping tempat duduknya. Ayla berdecak. Sepertinya dia sebangku dengan seseorang yang suka merias diri. Dilihat dari beberapa alat make up yang berhambur di laci meja. Hal itu membuatnya teringat akan Stefie—temannya sejak kelas X—yang juga suka berias diri.

Senjang yang DiperjuangkanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora