LF.9

5.2K 991 98
                                    


Sorry for typo(s)



Kesedihan Jaemin berlangsung keesokan harinya, lelaki Lee tersebut hanya menyadari wajah muram dari sang putra. Tak ada semangat pagi yang menyambut Taeyong seperti biasa, apalagi ketika si kecil tak mau membuka mulut untuk makan.




Jemarinya terangkat menyisir lembut surai hitam Jaemin. Kursi berwarna putih itu ditarik mendekat dengan posisi duduk mereka yang saling berhadapan.



"Nana sakit, ya?"



Bibir si kecil mengerucut, maniknya bersitatap pada sang Bubu sembari menggelengkan kepala. Suasana hatinya menjadi tidak karuan setelah hari kemarin, padahal semua masih sama akan tetapi Jaemin merasakan sebuah perbedaan yang tidak bisa dijelaskan oleh anak berumur lima tahun itu.




Tangan Taeyong terulur untuk memangku tubuh putranya kemudian menyentuh kening yang ternyata memang tidak panas ataupun hangat.



"Nana sedih, tapi tidak tahu kenapa sedih," lirih anak itu seraya mendongak pada Taeyong, "Nana sayang pada Bubu."



Seulas senyum terukir pada bibir lelaki Lee di sana, lengannya melingkar pada tubuh sang buah hati. Kecupan pada puncak kepala didapat oleh Jaemin dari Taeyong seraya berucap, "Bubu juga sayang pada Nana."




Posisi mereka berpelukan untuk beberapa saat, Jaemin menyukai bersandar pada dada sang Ayah dengan jemarinya yang menggambar abstrak pada lengan Taeyong. Diamnya si kecil membuatnya tidak suka, lelaki Lee tersebut ingin putranya yang ceria dan cerewet di pagi hari seperti biasa.




Ada satu kemungkinan yang akan membuat Jaemin berceloteh, ia menimbang sejenak. Padahal kemarin, Taeyong bersumpah untuk tidak membahas. Namun, tidak menyangka bahwa ikatan batin ayah dan anak kandung masih kuat walaupun sudah berpisah sejak bayi atau bisa jadi saat kehamilan Min Jee, Jaehyun selalu berada di sisi wanita tersebut karena mengingat pesan orang tua dulu. Bayi dalam kandungan memang harus dibiasakan diajak berbicara untuk bisa mengenal orang terdekat, yaitu orang tua.



"Kemarin, ke mana saja dengan Uncle J?"



Dan benar saja, setelah mendengar pertanyaan tersebut tubuh Jaemin bergerak dengan antusias apalagi binar mata yang terpancar dan tak lupa senyum manis itu yang terukir.



"Kebun binatang, Bubu! Nana lihat hewan banyak-banyak, seperti di buku yang dibelikan Bubu dulu. Nana dan Uncle J juga naik bus yang ada musiknya! Lalu, lalu, Uncle J belikan Nana es krim yang ada wafernya, enak Bubu!"



Namun, Taeyong juga tidak bisa berbohong bahwa senyumnya juga mengembang di sana. Celotehan Jaemin yang menggemaskan dengan menceritakan perlakuan Jaehyun pada putranya.




Emosinya kemarin telah luntur melihat betapa bahagianya Jaemin dengan cerita ini.




"Nana sudah bilang terima kasih?"




Kepalanya terangguk dengan senyuman yang lebar, "Sudah, Bubu!" jawabnya seraya mengangkat jemari dengan kerutan pada dahi untuk menghitung, lalu lima jarinya ditunjukkan pada Taeyong, "Nana bilang sampai lima kali, Bubu!"




Kedua tangan Taeyong menangkup wajah manis itu, tawa kecilnya lolos dari bibir, "Pintarnya anak Bubu!"



Masih belum selesai, Jaemin berdiri pada paha kemudian lengan mungil itu melingkar pada leher Taeyong, "Lalu, Uncle J membawa Nana ke suatu tempat. Jauh sekali, Bubu! Ada foto banyak juga dan bunga-bunga."




Kening Taeyong berkerut mendengarnya, tempatnya tidak asing seperti tempat penghormatan terakhir.




"Uncle J minta tolong pada Nana untuk memanggilnya Papa dan ada foto wanita cantik! Nana panggil Mama," sorot matanya tampak sendu di sana dengan bibir yang sedikit maju, "Kata Bubu, kalau membantu orang itu kita baik. Jadi Nana panggil Papa J dan Mama itu. Tapi, Uncle J menangis lalu minta maaf pada Nana. Padahal, Uncle J baik juga."





Taeyong tidak menjawab, dia hanya memeluk Jaemin dengan sesak pada dada karena menahan tangisan.





***





Tiga hari telah terlewati, Jaemin sudah bisa tersenyum dan berceloteh di pagi hari. Kedua sahabatnya yang tidak tahu apa-apa pun hanya menghibur seperti biasa saja.




Hari Senin menjadi momen yang ditunggu anak-anak. Jadwal membawa makanan empat sehat lima sempurna dengan duduk secara berkelompok, mereka bisa saling bertukar sayur dan lauk pauk. Harus dengan item yang sama, supaya mendapatkan gizi sempurna.




Seperti biasa, tiga sekawan tersebut duduk di meja paling ujung. Haechan yang lebih bersemangat ingin bertukar sayuran dengan Jaemin karena buatan Bubu memang begitu enak dan cocok di lidah daripada yang dibuatkan oleh pelayan rumahnya.




Namun, ada yang berbeda hari ini. Dengan memperhatikan, Jaemin melihat wajah muram Jeno di sana. Tangan si kecil Lee menyentuh lengan Haechan untuk memberitahu.




"Jeno-ya! Nanti kalau tidak makan, Echan ambil lho!" tegur anak dengan pipi gembilnya.



Bibir Jeno mengerucut, tangan pendek itu mendorong tempat makan berwarna biru tersebut, "Makan saja," pasrahnya.




Kedua kening Jaemin dan Haechan berkerut mendengarnya, biasa juga Jeno tidak suka jika makanannya diambil. Jelas mereka membawa masing-masing, tetapi kali ini sahabatnya justru merelakan begitu saja.




Tubuh Jaemin sedikit condong ke depan dengan menelengkan kepala memberi tatapan pada sahabatnya, "Jeno sakit?"




Kepala Jeno menggeleng pelan, kedua tangannya berada di atas meja dengan telapak yang menjadi penopang dagu mungil miliknya, "Uncle J yang sakit," lalu melirik pada Haechan dan Jaemin secara bergantian, "Tadi malam, ada mobil yang bunyinya berisik datang ke rumah lalu membawa Uncle J. Ayah dan Ibu sampai menangis," tambahnya kemudian.




Kabar tersebut membuat manik Jaemin membulat, sorot matanya berubah khawatir, "La-lalu, Uncle J? Dia akan baik-baik saja kan, Jeno?" suara parau darinya bertanya.




Si kecil Jeno menggelengkan kepala dengan wajah sedih pula.




Melihat kedua sahabatnya yang sedih, Haechan meneguk setengah susu untuk menelan makanannya, lengan mungil itu terlentang guna menenangkan Jaemin serta Jeno di sana.





Setelah berhasil mengosongkan mulutnya, Haechan berkata, "Kata Daddy, Dokter bisa menyembuhkan orang sakit. Kita bantu doa saja, ya?" dengan suara tenangnya.










Locu Felice✓Where stories live. Discover now