LF.4

6.5K 1.1K 56
                                    



Sorry for typo(s)





Dua tahun menjadi waktu yang cukup lama bagi Taeyong beradaptasi sebagai Guru Konseling di sekolah menengah atas. Itupun dengan bantuan seorang tetangga dari rumah dulu, selalu kagum kepada cucu keturunan Lee. Maka dari itu, ia selalu bekerja dengan baik supaya tidak mengecewakan. Yang terpenting, uang gaji cukup untuk memenuhi kebutuhannya bersama Jaemin selama ini.




Usianya yang terlalu muda membuat Taeyong lebih cepat akrab dengan para siswa dan siswi di sana. Tak hanya berkonsultasi, ia juga sering menjadi teman curhat mereka.




Seperti saat istirahat ini, Taeyong berhadapan dengan seorang siswi yang menundukkan kepala. Kasus yang baru kemarin terbongkar menggemparkan sekolah. Ada pencurian barang berharga bahkan sampai jaket sekalipun dari seorang siswi lainnya di area sekolah, yang ternyata pelakunya adalah sahabatnya sendiri.



"Kenapa kau melakukannya? Kalian ada masalah?"




Sebuah gelengan kepala menjadi jawaban, salah satu alis Taeyong terangkat sembari menempelkan tubuhnya pada meja dan melipat kedua tangan di sana, senyum lelaki Lee itu terukir untuk menenangkan anak tersebut.




"Tidak apa-apa, cerita saja. Anggap aku sebuah foto dengan wajah sahabatmu, kau bisa mengatakan apapun dan aku akan diam."




Perlahan, manik anak itu melirik pada Taeyong. Wajahnya tampak malu karena perbuatan yang telah dilakukan selama ini, surai siswi tersebut tergerai, poninya hampir menutupi wajah.



"A-aku hanya iri padanya."



Manik Taeyong membulat, masih memasang wajah yang tenang. Namun, nyatanya ia merasa lega karena anak tersebut berhasil mengeluarkan suara.



"Dia memiliki segalanya."




Pernyataan tersebut membuat lelaki Lee menaikkan kedua alisnya sembari menelengkan kepala, "Dia sengaja pamer padamu?"




Lagi, anak itu menggelengkan kepala. Kali ini, ia menatap dengan percaya diri pada Taeyong sembari menghela napas panjang. Raut wajahnya tampak frustasi dan lelah.




"Dia sahabatku, dia baik padaku. Tapi aku iri padanya, aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan hal ini. Rasanya sakit melihat orang-orang tampak bahagia, tidak harus memiliki beban bagaimana bulan depan akan membayar uang sekolah."




Sorot mata anak itu menggambarkan dengan jelas perasaan kalut di sana, maniknya perlahan memerah sembari menyilakan surai hitam panjang ke belakang telinga kemudian menundukkan kepala.




Tubuhnya bergetar dan isakan mulai terdengar, seorang gadis yang belum genap usia legalnya telah melakukan tindakan kriminal. Tentu saja ketakutan, penyesalan memang akan selalu datang terlambat.




Melihat siswinya yang sudah mulai menangis hebat, Taeyong berdiri dan mengambil botol mineral yang memang telah ia sediakan khusus untuk mereka yang mengalami masalah demikian.




"Minum dulu, tenangkan dirimu," ujar Taeyong sembari menyodorkan botol tersebut kemudian kembali duduk.



Setelah beberapa saat membiarkan anak didiknya merasa lebih baik, Taeyong berdeham dan meminta anak itu untuk mendengarkan dengan saksama.



"Usia remaja itu rawan sekali jika menyangkut tentang sebuah perasaan. Rasa iri terhadap sahabatmu tersebut mungkin bukan karena dia kaya, cantik dan memiliki segalanya melainkan cara pandangmu terhadap apa yang dimiliki olehnya," kalimat pembuka tersebut berhasil membuat gadis di depannya tampak terpaku, diam dan mendengarkan seperti yang dipinta oleh Taeyong, "Ketika kau membandingkan diri dengan orang lain, dalam hati akan timbul rasa sedih, kecewa dan marah. Jika terus menerus dirasakan barulah terbentuk rasa iri yang menjadi."



Locu Felice✓Where stories live. Discover now