KRISIS IDENTITAS

72 12 0
                                    

Kau adalah yang kau makan.

Tapi itu berlaku kalau binatang yang kau makan masih hidup ketika kau kunyah.

Ketakutan dari mata mereka akan menjadi nyawamu.

Darah mereka, menyatu dengan darahmu.

Kalian menyatu.

Camkan ini dalam jiwamu.

Aku adalah pemandumu. Aku agamamu. Aku Tuhanmu.

Perkataan itu terdengar berulang-ulang di dalam kepala Beruk. Menjadi mantra. Menjadi jalan hidup. Ia percaya. Saat ini setiap kali ia menatap cermin, adalah bayangan hewan yang terakhir kali ia makan yang tampak. Beruk kini tinggal di terminal. Ia menempati celah kosong di antara bangunan terminal dan toilet yang sudah tidak terpakai. Ia membangun tenda di situ. Di cermin ia melihat pantulan wajahnya serupa ular. Ia menjulurkan lidah dan berdesis.

Ia percaya dirinya sekarang telah menjadi ular. Setiap ia hadir di sekitaran terminal, orang-orang memandangnya tak nyaman. Beruk jalan saja tak menghiraukan mereka. Suatu waktu ia makan kucing yang sangat lucu. Hari kemudian orang-orang gemas padanya. Mencubit-buti pipinya. Mereka tak takut sama sekali kalau Beruk bisa saja merobek perut mereka.

Kau adalah produk evolusi.

"Tidak, aku seorang mutan." Kata Beruk, itu setelah ia nimbrung nonton di sebuah warung, suatu film tentang sekumpulan orang yang memiliki kekuatan-kekuatan unik. Salah satunya bisa berubah jadi apa pun.

Terserah kau saja Beruk. Sekarang, apa yang ingin kau lakukan?

"Tidak tahu."

Bodoh sekali kau ya. Kau tidak pengin berada di paling atas? Menguasai segalanya?

Beruk menggelengkan kepala. Di depan cermin, muka kucing lucu menggelengkan kepala.

Payah. Sudah empat tahun masa tidak ada obsesi apa-apa?

"Aku tidak pengin apa-apa."

Payah sekali. Baru kali ini aku punya pengikut yang tak ambisius sepertimu. Sepertinya Beruk empat tahun lalu sudah hilang sekarang. Uh, membosankan. Kalau begitu aku pergi saja. Selamat tinggal.

Semenjak itu suara dalam kepala Beruk tidak pernah terdengar lagi. Namun mantra yang telah tertanam di jiwa Beruk masih tinggal. Beruk masih percaya kalau ia adalah apa yang ia makan. Beruk makan anjing, ia menjadi anjing. Gonggongannya kencang dan lolongannya membuat siapa pun yang ikut tinggal di terminal, minggat sebentar.

"Kecuali burung." Beruk masih mencoba memakan burung dan belajar terbang tapi setiap ia mencoba terbang selalu terjatuh dan menimbulkan luka. Pernah kakinya terkilir dan lama tak sembuh sampai dua minggu. Ia makan kadal dan tokek untuk meredakan sakitnya.

Lama kelamaan burung dicoret dari daftar makanannya.

Beruk selalu membawa binatang-binatang yang mau dimakannya ke tempatnya bermalam. Ia sengaja menciprati terpal tempat tidurnya dengan darah binatang. Lalu tidur tanpa mengenakan baju. Itu agar darah binatang menyelimuti tubuhnya. Darah hangat ketika ia dalam proses makan. Tadi malam ia habis makan ular lagi. Di beberapa gang dari terminal, ia mengetahui ada orang kaya yang memelihara ular kobra. Dengan kelincahan seperti kucing, Beruk menyelinap ke rumah itu dan mencuri si kobra. Beruk terlebih dahulu belajar cara menangkap kobra di warnet terdekat.

Beruk langsung menggigit badan kobra itu sampai putus. Ia makan dengan cepat. Ia makan kepalanya, menyingkirkan taring berbisa, lalu memakan badan sisanya seperti makan mie ayam. Beruk pergi ke toilet bekas, menuju cermin, ia lihat mukanya berubah jadi kobra. Ketika ia buka mulut, mahkota kobra melebar di pinggiran kepala sampai lehernya.

Ia jalan-jalan di sekitaran terminal. Ke setiap anak kecil yang ia temui, ia mendesis seolah mengancam. Anak-anak itu langsung menangis histeris. Beruk lari.

Tak sengaja, ia menubruk seseorang. Remaja seumurannya.

"Beruk?" remaja laki-laki itu membawa ukulele. Kepalanya gundul plontos dan telinganya ditindik.

"Udin?" Beruk terkesiap. Lalu heran, kenapa Udin bisa mengenalinya sebagai Beruk? Kan ia sudah jadi ular. Mestinya Udin lari ketakutan. Beruk membuka mulut, memamerkan taring kobranya.

Udin menawarkan tangan untuk membantu Beruk berdiri. "Ngapain lu mangap-mangap?"

Beruk menerima tangan itu dan ia pun berdiri. "Lama banget gak ketemu. Gimana lu kabarnya?" tanya Udin lagi.

Beruk masih bengong. Tak percaya wujudnya masih dianggap seperti Beruk yang lama. Ia menoleh ke toko kelontong yang ada kacanya, dilihatnya mukanya masih serupa ular. Beruk tak sadar menunjuk mukanya sendiri.

"Hoi bengong aja." Udin menjentikkan jari di depan muka Beruk. "Aduhhh, anjing, sakit!"

Beruk refleks mau mematahkan jari Udin, tapi berhenti seketika ketika Udin memanggilnya anjing. Ia pikir, Udin melihatnya sebagai anjing. Beruk menendang kemaluan Udin lalu kabur, lari kencang. Seperti anjing.

Udin mengumpat berkali-kali menyebut anjing.

Beruk masuk ke toilet dan memandangi cermin lekat-lekat. Ia yakin matanya tidak menipunya. Ia melihat pantulan wajah ular. Cermin di toilet memang agak kotor. Beruk bersihkan pakai kaos dibasahi air. Sekali usapan, di cermin mukanya berubah jadi anjing. Ia usap lagi, mukanya berubah jadi kucing lucu. Ia usap lagi, mukanya berubah jadi ular. Berapa pun kali ia usap cermin itu, mukanya tak pernah kembali ke muka Beruk asli.

"Apa yang terjadi?"

Beruk berharap suara dalam kepalanya dapat menjelaskan keanehan ini. Tapi suara itu tak pernah datang lagi.

SANTAP - Sebuah Cerita Tentang MakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang