DARAH DAN API

108 15 2
                                    

Penglihatan tentang Jeki yang jatuh bunuh diri berkali-kali melintas di depan mata Beruk. Ia meraung-raung di atas makam Jeki. Udin yang mulai khawatir kalau-kalau warga kampung melihat, memaksa Beruk untuk masuk. Saat itu hujan deras.

"Kita harus balas ini." geram Beruk kepada Udin.

"Tapi, bagaimana?"

"Kita bunuh mereka semua. Kita bakar gedung ini."

Udin mendengarnya ngeri. Tapi dalam hati, dia juga pemgin melakukannya. Yang menghalanginya adalah kesadaran bahwa anak-anak sepertinya tidak akan menang melawan orang-orang dewasa jahat.

"Lu tahu kan apa yang dilakuin Pak Yu ke Jeki?"

Udin mengangguk.

"Lu kenapa diem aja?"

Udin gelisah.

"Oh, lu juga pernah disodomi?"

Udin menunduk, mulai menangis.

Beruk mengambil linggis di kamar perabotan, lalu membuat gundukan tanah serupa pantat. "Heh, ini bol Pak Yu." Dengan sekuat tenaga Beruk menancapkan linggis itu ke gundukan bol. "Kita balas."

Beruk geram sampai ubun-ubun. Kemurkaan telah menguasainya. Rahangnya gatal dan mengeras. Kuku tangannya sudah panjang dan tadi pagi ia asah pakai asahan pisau. Beruk mengincar dan mengintai. Mencari celah tak terlihat untuk melaksanakan balas dendamnya. Sasarannya tiga, Bibi Hel, Pak Yu dan Pak Sit. Mereka harus mampus malam ini.

Tak ada guna ia membocorkan kematian Jeki karena bunuh diri ke wartawan atau ke kantor polisi, kasian teman-teman mereka pasti akan kena gampar bertubi-tubi. Tidak cukup hukuman kerangkeng buat mereka. Mereka harus dibuat cacat, atau dengan siksaan dahsyat sampai mati. Beruk ingin mendengar jeritan kesakitan mereka. Nanti malam.

Bagus, kau mendengarkanku.

Balaskan kematian Jeki.

Jadilah pahlawan bagi anak-anak malang itu.

"Mereka bukan anak Malang, mereka anak sekitar sini."

Bodo amat. Lanjutkan kerjamu Nak.

Sebelum melaksanakan rencananya, Beruk memburu kucing dan tokek dan dimakan sekaligus. Itu akan memberinya kekuatan rahang dan gerak refleks yang bagus. Bahkan kuku tajam di tiap jarinya terlihat bisa melesak masuk sendiri. Tajam dan perih mengandung racun.

Hari itu adalah hari terakhir anak-anak panti melihat Mbak Dok. Dia tidak kuat dengan kelakuan Pak Yu, Pak Sit dan Bibi Hel. Dia punya agenda tersendiri, Mbak Dok pergi tanpa pamit demi melaporkan perlakuan mengenaskan yang terjadi di panti. Dia menghubungi kawan lamanya yang bekerja di koran.

Anak-anak semakin putus asa. Panti telah jadi neraka yang sesungguhnya. Beberapa anak perempuan pengikut Ainun nekat mau kabur. Mereka berangkat sekolah dengan menjejal baju di dalam tas. Sialnya, di gerbang sudah berdiri si Hela Jembut. Dengan tangan penuh perban dia memeriksa isi tas Ainun dan beberapa temannya. Bibi Hel memanggil Pak Sit dan mereka dibawa ke gudang, ditelanjangi dan diikat. Baju yang dijejalkan ke tas, dibongkar Pak Sit lalu dibakar di hadapan mereka.

"Gua sumpahin lu mati kebakar, mulai dari kontol!" jerit Ainun sebelum bogem kasar Pak Sit memecahkan bibirnya.

"Lu lu pada mau neraka kan?" Pak Sit melepas celananya lalu mengocok penisnya sambil menikmati sajian tubuh polos anak remaja. Dia tidak minat ingin merobek selaput dara mereka. Dia hanya ingin memuncratkan air maninya ke masing-masing muka. Ainun dan dua temannya muntah sejadi-jadinya. Air mani melengket di pipi dan dahinya. Tangannya terikat kencang, tak bisa dia melap mukanya. Mereka bertiga diikat bersamaan, demi menghapus air hina dina di muka, mereka bergantian menggulingkan tubuh di lantai.

SANTAP - Sebuah Cerita Tentang MakanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora