chapter 29

2.9K 170 11
                                    

"bahkan selembar daun pun sudah ditentukan kapan akan jatuh dan tumbuh. Tak perlu risau."

--------------

Gus Adnan terduduk ditepi ranjang. Berkutat dengan laptop yang sedari tadi berada diatas pangkuannya. Malam ini ia harus lembur untuk persiapan ujian santri. Ia bersandar di dinding kayu ranjangnya, menghela nafas sebentar sembari menyeruput kopi hitam buatan Asna. Ngomong-ngomong mengenai Asna, ia tak bisa berkilah kalau ujung matanya terus menatap Asna yang tidur pulas disampingnya. Rambutnya yang sengaja tergerai dengan wajah yang sendu membuat Gus Adnan tanpa sadar tersenyum simpul. Ia tak bisa menahan diri. Diusapnya rambut istrinya, sebuah kecupan hangat mendarat di dahi Asna. Beruntung si empu,hanya bergumam tak jelas.

"Syukurlah,gak kebangun."

"Kata siapa?" Suara itu lantas membuat Gus Adnan memekik kaget hampir saja ia loncat dari tempatnya.

Kedua bola mata itu masih terbuka lebar, Asna mengusap sudut matanya dan duduk menatap air muka Gus Adnan. Laki-laki itu kini persisi seperti tomat yang matang; merah merona. Pipinya menjadi ranum.

"Lah bukannya kamu tadi tidur yah? Kamu ngerjain aku yah?" Tanya Gus adnan gelagapan.

"Aku belum tidur daritadi."

Gus Adnan menaikkan alisnya tak percaya, ia gengsi setengah mati sudah memerhatikan Asna. Pasti sekarang hatinya sedang salto loncat kesana kemari karena Gus Adnan tatap dan kecup. Ia menepuk jidatnya spontan, memicu tawa renyah Asna.

Asna mencubit kedua pipi Gus Adnan, "kamu lucu deh." Ujarnya.

Gus Adnan mengusap pipinya yang kesakitan, sebelum kemudian menutup laptopnya. Disebuah nakas samping ranjangnya ia menaruh peralatan kerjanya. Gus Adnan merasa bersalah sudah berulang kali menyakiti Asna. Ia hampir saja menyerah untuk rumah tangga mereka. Tapi berulang kali juga Asna berhasil meyakinkannya untuk bertahan lebih lama atau bahkan selamanya.

Ting..

Asna mendelik mendengar suara notification dari ponsel suaminya. Ia lantas melempar tatapan tajam yang menyeringai membuat Gus Adnan salah tingkah. Asna benar-benar tak bisa berfikir jernih. Mungkin saja itu Mbak Ashila, prasangka ya tak pernah salah soal mereka. Tapi yang terlihat Gus adnan malah mematung persis dihadapannya. Asna memutar bola matanya kesal bukan main. Ia mengambilkan ponsel Gus Adnan di atas nakas.

"Kenapa gak dibuka? Takut ketauan sama aku?." Tanya Asna

Gus Adnan tak bisa berkata sepatah kata apapun rasanya lidahnya kelu untuk mengucap barang sekata apapun. Asna semakin menjadi dengan serangkaian tuduhannya yang membuat Gus Adnan begah.

"Bales aja. Kalau suatu saat aku berubah jangan tanya kenapa yah? Kamu yang buat aku terbiasa tanpa kamu." Ujarnya kembali sembari menggigiti kukunya.

Gus Adnan meneguk salivanya kasar, ia memberanikan diri membuka sebuah pesan singkat dan benar itu dari mbak Ashila. Perempuan itu mengirimkan pesan basa basi, Gus Adnan bukan manusia lugu yang tak paham masalah hati. Ia bukan tak tahu Mbak Ashila menyukainya, tapi Asna jauh lebih Daris segalanya baginya saat ini. Setidaknya sampai ia merasa sesak tanpa suara rengekan seperti bocah dari Asna. Hal-hal kecil yang mulanya ia benci berbalik bagai Boomerang kepadanya, ia tak tahu sejak kapan hatinya memilih Asna. Pilihan yang sebelumnya ia sanggah mati-matian bahkan ia khianati.

Jodoh Dalam DoaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora