Bab 4 - Nyai Geulis

5.2K 610 68
                                    

“Nyai, maafkan Aa!”

“Jadi … Aa bener mau ninggalin Nyai?”

“Aa gak bisa nerima kamu lagi.”

Wanita berparas hancur itu mendongak, mensejajarkan pandangan dengan pria jangkung di depannya.

“Kenapa, A? Karena Nyai udah gak cantik lagi? Iya?” bentak Nyai.

“Iya!” jawab pria jangkung itu lantang.

“Nyai, Aa punya banyak harta. Yang Aa butuhkan sekarang hanya wanita cantik yang pantas dilihat. Bukan seperti ini!”

Deg!

Hati Nyai benar-benar hancur mendengar penuturan ‘sang kekasih’ di depannya.

“Nyai akan berubah menjadi cantik lagi, A! Aa tunggu aja.”

“Nggak bisa, Nyai. Maafkan Aa.”

Pria jangkung itu melangkah angkuh, meninggalkan Nyai yang bersimpuh di atas tanah. Hidupnya begitu hancur setelah rumahnya terbakar. Wajah yang semula cantik terkena reruntuhan kayu atap hingga mengalami luka parah. Dan kini, wajahnya ‘tak enak dipandang. Bahkan kekasihnya sendiri memutuskan untuk meninggalkan.

Sesaat kemudian, Nyai bangkit. Meneguhkan tekad atas kemarahan pada mantan kekasihnya. Ia beranjak dari tempat. Menemui seseorang.

***

“Begitu ceritanya. Akang bisa bantu Nyai, ‘kan?”

Seorang bapak berjanggut panjang terlihat sedang berfikir.

“Bisa, tapi semua ada syaratnya. Apa Nyai siap?” tanyanya meyakinkan.

“Siap, Akang! Apapun itu, akan Nyai lakukan asal kecantikan Nyai bisa kembali seperti semula.”

“Nyai hanya perlu meminum darah haid Nyai sendiri. Lalu setelah itu, Nyai harus bersanggama dengan Genderewo bermata merah di tengah malam saat bulan purnama,” tuturnya santai.  

Nyai tersentak kaget, “a-apa tidak ada persyaratan lain selain itu, Kang?”

“Tidak ada. Dan jika kamu mau, nanti malam adalah bulan purnama.”

“Tapi … apa cara ini akan berhasil?”

“Pasti berhasil. Kamu tengah haid, ‘kan?” tebaknya benar.

“Loh, kok Akang tahu?” Nyai mengernyitkan dahi.

“Bahkan Genderewo sudah sangat bersemangat.”

***

Malam ini, tepat pukul 23.40 di dalam kamar, terlebih dulu Nyai mengendus secangkir kecil darah haid yang telah ia kumpulkan.

“Cih, bau banget. Ah! Tapi gak papa deh, asalkan si Aa mau balikan sama Nyai.”

Nyai mulai menyeruput.

Brakk!

Nyai terlonjak, juga tersedak.

Pintu kamar terbuka lebar. Nyai menoleh, seperti didobrak paksa dari luar. Anehnya, ‘tak ada seorang pun di sana. Tidak mungkin jika hanya sekadar angin yang berembus.

Senyap.

Bulu kuduk Nyai meremang, apa mungkin dia sudah datang?

“Nyai gak boleh takut, Nyai harus berani!” ucapnya menenangkan diri.

Grrrh

Benar saja, makhluk hijau menjijikan itu telah datang, ia mengaum layaknya hewan buas yang siap memangsa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Benar saja, makhluk hijau menjijikan itu telah datang, ia mengaum layaknya hewan buas yang siap memangsa.

Tubuhnya teramat besar, hijau busuk menjadi warna kulitnya. Nanah menjalar di lubang telinga, berlendir dan bau. Wajahnya nyaris ‘tak berbentuk. Kuku-kuku kaki dan tangannya pendek, tapi hitam juga bernanah segar.

Makhluk menjijikan yang disebut Genderewo itu mendekat ke arah Nyai, tersenyum menyeringai, menampilkan gigi-gigi besar dengan air liur yang menetes. Mata bulat merah melotot dengan tangan yang siap menjamah.

Nyai hanya bisa meneguk ludah sendiri, jantungnya berdegup kecang, ia perlahan mundur lalu setelahnya ….

“Shollu, hey shollu! Shollu-shollu!” Umi menggebrak pintu kobong An-Nisa, memerintahkan untuk bergegas Shalat Subuh karena belum ada seorang pun yang keluar dari kobong itu.

Khadijah yang merasa pendengarannya terganggu, cepat-cepat membuka mata. Kemana Genderewo itu? Ah, syukurlah hanya mimpi.

Sedang di luar kobong, Umi menghitung mundur. Mengancam untuk menghukum siapa pun yang masih tidak bangun.

“Tiga ….”

Terkejut.

“Woy, hayuk bangun! Umi ngamuk!” serunya sembari mengguncang tubuh Ochi dan kelima temannya.

Kobong An-Nisa memang sering dijuluki dengan Santriah kebo, karena selalu telat Shalat Subuh di Masjid.

“Dua ….” Umi masih menghitung mundur.

“I-iya, Umi … ini udah bangun, kok!” teriak Khadijah dari dalam kobong.

“Ihh, ayok dong bangun, Ochi!” Khadijah lebih keras mengguncang tubuh Ochi yang masih terbaring.

Ochi terbangun dengan mata yang masih tertutup.

“Ah … apaan sih, ganggu mimpi indah aja,” timpal Ochi. 

“Satu! Setelah sholat subuh, menghadap Umi di aula!” perintah Umi lantang, membuat seisi kobong tercengang.

“Mampus!” ucap Khadijah pasrah.

***

Pendek banget, ya? Hehe, tenang masih awalan.

Jadi, sebenarnya siapa Nyai? Bagaimana nasibnya setelah malam itu?

See u next part! ^^

@RosOchanie_

Penjilat Darah Haid - ENDWhere stories live. Discover now