Bab 22 - Istighfar!

1.6K 293 42
                                    

"Dijah, sadar! Dijah...," lirih Ochi sembari menepuk lembut pipi Khadijah.

Gadis berkerudung hitam yang sedari tadi pingsan itu mulai terlihat mengerjapkan matanya. Terdengar erangan lemah saat ia mulai bangun. Punggungnya bersandar pada hulu ranjang dan mulai menyamankan posisinya.

"Duhh, pundakku kok sakit banget, ya?" tanyanya pada Ochi yang masih setia menunggui di sampingnya.

Kini, Khadijah seolah dipenjara oleh tatapan dari Pak Haji, Cut, dan Ochi. Mereka saling beradu pandang sebelum Pak Haji berhasil angkat bicara.

"Ti mana maneh meunangkeun kalung ieu?" (Dari mana kamu mendapatkan kalung ini?) tanyanya sembari menunjukkan sebuah kalung liontin berwarna merah.

Khadijah sedikit terperangah saat melihatnya. "Ke-kenapa kalung itu ada di Pak Haji?"

"Ulah kalah malik nanya, jawab heula!" (Jangan malah balik bertanya, jawab dulu!) sergah Pak Haji dengan nada suara yang terdengar meninggi.

"I-itu ... itu dikasih sama Bu Rada," jawabnya ragu.

"Astagfirullahal'adziim, kunaon kalah ditarima, hah?" (Astagfirullahal'adziim, kenapa malah diterima, hah?) Terlihat jelas amarah Pak Haji ditunjukkan oleh raut wajahnya.

Khadijah menunduk dengan sedikit terisak. "Aku capek, Pak Haji! Sosok itu ... sosok itu selalu datang menghantuiku dan aku tidak tahu harus bagaimana. Sedangkan aku juga tidak tahu harus bilang ke siapa. Aku takut membebankan kalian lagi...." Isakannya semakin terdengar jelas. Sebagai sahabat, Ochi dan Cut merasa terpukul atas pengakuannya.

"Dijah, kita ada, kok, untuk kamu. Harusnya, kamu bicarakan ini sama kita," ujar Ochi.

"Iya, Dijah. Cut sama Ochi mau bantuin kamu, kok," timpal Cut mengiyakan.

Khadijah sedikit mendongak, pipinya penuh dengan linangan air mata. "Aku takut kalian terkena masalah lagi, kemarin-kemarin aja Cut hampir dinikahi Genderuwo. Pak Haji juga sudah banyak berkorban selama ini."

"Kita ini sahabat, Dijah. Jangan seperti itu. Jika pun aku sama Cut ikut terkena masalah, ya itu sudah jadi ketetapan Allah."

"Khadijah, nu dilakukeun ku maneh geus asup kana kamusyrikan. Leuwih percaya ka kalung liontin daripada ka Allah," (Khadijah, apa yang kamu lakukan sudah termasuk perbuatan musyrik. Lebih percaya pada kalung liontin daripada Allah) tegas Pak Haji.

Khadijah kembali menunduk dan tangisannya kembali pecah. Hatinya begitu teriris saat teringat akan dosanya ini.

"Maafkan aku ... maafkan aku, Pak Haji."

"Istighfar, Khadijah! Menta hampura ka Allah. Ulah nepika ngalakukeun hal kitu deui." (Istighfar, Khadijah! Mintalah ampunan pada Allah. Jangan sampai melakukan hal ini lagi.) Pak Haji berlalu ke luar. Tersirat aura kekecewaan di wajahnya.

Khadijah merasa sangat malu. Wajahnya ditutupi oleh telapak tangannya. Ochi dan Cut merasa iba. Mereka memeluk tubuh Khadijah secara bersamaan.

"Gak papa, Dijah. Selagi kamu mau bertaubat dan bertekad untuk 'tak melakukan hal itu lagi, Allah pasti mengampunimu," ucap Ochi hangat.

"Jangan pernah merasa sendiri, Cut sama Ochi 'kan selalu ada buat Dijah. Kalo ada masalah, bicara aja sama kita. Ya, 'kan, Chi?" ujar Cut yang langsung mendapat anggukan dari Ochi.

"Terima kasih ... dan maaf pernah meragukan keberadaan kalian."

"Uwu, sama-samaaa, Dijaaah! Udah ih jangan melow-melow gini. Hati Cut itu lembut, gak kuat kalo lihat Dijah nangis!" Cut melepas pelukan dan menangkup wajah Khadijah. "Udah, ya ... Dijah jangan nangis terus!" sambungnya sembari mengusap air mata di pipi Khadijah.

Penjilat Darah Haid - ENDWhere stories live. Discover now