Bab 26 - Bunuh Diri

1.5K 264 75
                                    

Lapangan pondok yang 'tak begitu luas kini mulai padat oleh para santri dan santriah. Koar-koar suara mereka terdengar mendemonstrasikan tuntutan pada sang pemimpin. Masing-masing menggendong dan membawa tas yang terlihat penuh. Tidak sedikit pun terlihat letih pada wajah mereka, meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

"Pak Haji, cepat keluar!" seru seorang santri yang spontan diikuti santri yang lain.

"Kami meminta pertanggungjawaban atas kelakuan Pak Haji yang tidak senonoh!"

"Betul! Pak Haji jangan malah sembunyi, dong!"

Teriakan demi teriakan terus terdengar. Hingga keluar sang penghuni rumah, Pak Haji dan Istrinya.

"Aya naon ieu?" (Ada apa ini?)

"Halah, Pak Haji jangan so polos! Kita semua udah tahu, kalo Pak Haji itu seorang predator para santriahnya sendiri!" sungut pemuda yang sama dengan menggebu-gebu.

Umi yang berada di samping Pak Haji seketika terkejut. "Hey, jaga omonganmu, Nak! Pak Haji tidak mungkin berbuat zina, apalagi pada santriah sendiri."

"Tapi ini fakta, Umi! Cut sudah menjadi korbannya."

Umi menatap mata sang suami lamat-lamat, mencari sebuah kejujuran di sana. "Apa itu benar?"

"Henteu, Umi! Iraha abdi ngalakukeun hal nu kitu? Ti wengi ge kan aya ngajaga Umi." (Tidak, Umi! Kapan aku melakukan hal itu? Dari semalam kan ada menjaga Umi." Ucapan Pak Haji nyatanya 'tak membuat para santri yang mendemo diam, justru malah semakin ricuh.

"Pak Haji harus melaporkan diri pada pihak kepolisian, atau kita semua akan pulang dan membakar pondok ini!" Mereka meraung diikuti dengan kalimat takbir yang menggema.

"Astagfirullahal'adziim, apa yang kalian lakukan? Ini bisa dibicarakan baik-baik, mungkin saja memang hanya salah paham!" seru Umi. "Lagian memang benar, dari semalam Pak Haji ada menjaga Umi karena perut Umi masih sangat sakit," sambungnya.

Seketika para santri itu terdiam, sampai Abdul ikut bersuara, "Mending kita tanyakan langsung pada Cut!"

"Ya sudah, ayok!"

Pak Haji dan Umi berjalan di depan diikuti para santri. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti saat melihat pemandangan yang membuat mereka semua meringis.

"Astagfirullah, Cut! Apa yang mau kamu lakukan? Turun, cepat!" teriak Umi pada gadis mungil yang tengah berdiri di bibir lantai tiga dengan penampilan acak-acakan.

Tanpa pikir panjang, Pak Haji segera berlari hendak menghampiri Cut. Namun, diurungkan.

"Cukup! Jangan ada satu orang pun yang mendekat! Biarkan kalian semua menjadi saksi berakhirnya hidupku," lirih Cut dengan air mata yang menderai.

"Istighfar maneh teh, Cut! Inget ka Allah! Bunuh diri lain kalah mereskeun masalah, tapi nambahan masalah jeung dosa." (Istighfar kamu, Cut! Ingat pada Allah! Bunuh diri bukan malah menyelesaikan masalah, tapi akan menambah masalah dan dosa."

Cut mengusap air matanya. "Aku tidak peduli! Hidupku sudah benar-benar hancur! Orang tuaku sudah membuangku ke sini dan di sini aku pun hanya mendapat pelecehan. Aku sudah kotor, aku kotor!!! Jika pun aku mati, 'tak akan ada satu orang pun yang merasa kehilangan." Tangisnya kembali pecah, kali ini lebih keras dan semakin terdengar pilu.

"Cut, dengarkan Umi. Kita semua sayang sama kamu, kamu tidak bersalah. Kamu hanya korban! Dan Allah 'tak akan mengampunimu jika sampai melakukan hal ini. Yuk, turun, kita semua sayang kamu," lirih Umi.

Namun, pendengaran Cut seolah sudah ditulikan. Ia semakin memajukan badannya dan melangkah perlahan. Semua orang mulai panik dan 'tak sedikit orang yang menjerit.

Cut terus mempersempit jaraknya dengan sisi lantai, matanya terpejam, tangisnya terdengar lebih kencang. "AAAA!"

"Cut jangan!" teriak Umi.

Bruk!

Semua orang tercengang seketika. Mata mereka sibuk mencari-cari tubuh Cut.

Plak!

Sebuah tamparan terdengar memilukan. "Istighfar, Cut! Apa kamu sudah gila, hah?! Jawab!"

Plak!

Lagi-lagi Ochi menampar pipi Cut karena malah menangis dan tidak menjawab. Tangisan Cut pecah begitu saja saat berhasil memeluk sahabatnya itu.

Ochi melepas pelukan. "Apa kamu sudah gila, hah?" tanyanya dingin dengan tatapan fokus ke depan.

Tetap tidak ada jawaban, Ochi mengguncang tubuh Cut. "Kenapa diam, hah? Ayok jawab, Cut!"

Sementara itu, orang yang dicekoki pertanyaan malah menangis lebih kencang.

Di lantai tiga tanpa atap ini, angin berhasil membuat air mata Ochi menetes. Ia menatap lamat-lamat ke arah Cut.

"Lihat aku, Cut! Lihat aku!" Mata sembab banjir air mata itu kini menatap Ochi. "Siapa yang bilang gak ada yang sayang kamu, hah?! Siapa yang gak akan ngerasa kehilangan kalo kamu gak ada? Siapa?!" bentak Ochi sembari terisak.

"A-aku gak punya s-siapa-siapa lagi, Chi. Dan aku dah gak pantes hidup," lirih Cut diiringi isakan memilukan.

Plak!

Ochi lagi-lagi menampar pipi Cut membuat di empunya pipi mendongak.

"SELAMA INI KAMU MENGANGGAPKU APA, CUT?! AKU SAMA KHADIJAH DAN SEMUA ORANG DI PONDOK INI ADALAH KELUARGA! KITA INI SAYANG SAMA KAMU, CUT! DAN SEKARANG KAMU BILANG GAK PUNYA SIAPA-SIAPA?"

Plak!

"Sadar, Cut! Kamu kemana aja? Apa kamu selama ini hanya menganggapku sampah?"

Cut menggeleng cepat. "Nggak--"

"Aku dan Dijah sudah menganggapmu adik, Cut! Kita lebih dari teman, tapi kamu 'tak pernah mau menganggap kita!"

Ochi hendak melenggang pergi meninggalkan satu temannya itu. Namun, tangan Cut menghentikannya.

"Chi, maafkan aku!"

"Minta maaflah pada Allah," ucap Ochi tanpa melirik sedikit pun pada Cut yang kini terduduk dengan guyuran air mata.

"Cut, maneh teu kunanaon?" (Cut, kamu gak papa?" sosor Pak Haji yang baru saja sampai di lantai tiga.

***

Gadis berkerudung putih itu berjalan lunglai di koridor sekolah. Pikirannya kacau dan sudah sangat muak atas apa yang telah terjadi.

Hingga sampai di ambang pintu kelas 12 MIPA, Ochi disapa hangat oleh Khadijah.

"Chi, gimana? Ada gak bukunya?"

Ochi 'tak menoleh sedikit pun padanya dan langsung duduk di kursinya.

"Chi, kok, diem aja? Kamu gak lupa kan bawain buku biologi aku yang sama ketinggalan?" Khadijah duduk di kursi sebelah Ochi. Menatap mata temannya yang sedikit sembab.

"Chi, kamu nangis?"

Ochi menoleh dengan muka datar. "Cut mau bunuh diri!"

Deg!

Jantung Khadijah seolah berhenti berdetak, matanya membelalak dengan mulut yang menganga.

"Kok, bisa?!"

***

Ternyata, ada yang lebih sesak daripada tidak dianggap doi sendiri. 🙂

See u next part, yaww.
Sekian, terima tumbal 🔪

Penjilat Darah Haid - ENDWhere stories live. Discover now