Bab 33 - Fitnah Teman

774 133 27
                                    

"DIJAAAAHH, JOROK BANGET, SIH?!" Teriakan seseorang membuat nama yang dipanggil seketika terperanjat.

"Hah? K-kenapa? Jorok gimana?" timpal Khadijah linglung.

"Dih, lain kalo lagi haid tuh jaga kebersihan, dong! Tuh, darahnya meleber ke kasur aku. Jorok banget!"

Khadijah tersadar dan sontak melihat ke arah kasih yang kini dipenuhi dengan darah haidnya. "Astaghfirullah m-maaf, Ochi! Aku gak tahu kalo darahnya bakal keluar sebanyak ini, biasanya juga dikit."

Ochi terus saja memandang jijik ke arah Khadijah, saking dia sangat membencinya. Di sisi lain, satu gadis terbangun dengan wajah pucat pasi. Dia mengucek matanya dan melihat apa yang terjadi.

"Kalian kenapa, sih? Pagi-pagi gini udah ribut aja," tanyanya lesu.

"Ya gimana gak ribut sih, Cut! Lihat deh, si Dijah jorok banget. Pantes aja dia suka dikejar-kejar hantu penjilat darah haid!"

Mendengar ucapan Ochi yang terlalu blak-blakan membuat tangan Cut menutupi mulut sahabatnya itu. "Ssssttt! Kalo ngomong jangan sembarangan, nanti kualat loh! Lagian kan tinggal dibersihin aja langsung beres, gak perlu ribut-ribut kayak gini."

Cut menjeda ucapannya dan menatap Khadijah masih dengan tatapan lesu. "Dijah, sebaiknya cepat bersihin darah haid kamu, keburu baunya tercium kemana-mana."

"I-iya, Cut. Eh tapi... kenapa wajah kamu pucat gitu? Kamu sakit?" Seketika Khadijah mengkhawatirkan kondisi Cut, ia meletakkan punggung tangannya di jidat temannya itu.

Sementara si empunya jidat malah menjauhkan tangan Khadijah dari dirinya. "Aku gak papa, jangan khawatir--"

"Halah, sok peduli, sok khawatir padahal dalam hatinya puas. Lihat, Dijah! Cut kayak gini tuh karena kamu," sergah Ochi memotong ucapan Cut.

Hati Khadijah memanas, jantungnya terasa mendidih saat mendengar fitnah dari temannya sendiri. Dia menatap lamat-lamat mata Ochi yang juga menatapnya sinis. Nampaknya perang dingin sedang terjadi di sini.

"Asal kamu tahu ya, Ochi! Aku gak pernah sejahat itu pada siapapun apalagi pada teman sendiri. Dan yang perlu kamu tahu, aku mau kamu bertanggung jawab atas kematian bundaku!" ucapnya penuh penekanan.

Cut terperanjat saat mendengar bahwa bunda Khadijah sudah meninggal, hatinya yang lembut seketika tergerak untuk merangkul Khadijah, tapi ditolak.

"Kenapa juga aku yang harus bertanggung jawab atas kematian bundamu, hah?"

"Kamu yang sudah melarangku untuk pulang, Ochi! Padahal bunda sangat membutuhkan aku, kamu harus bertanggung jawab!" Emosi Khadijah mulai tersulut.

Mimik wajah Ochi terlihat biasa saja, sepertinya kebaikan dalam dirinya sudah mulai punah. "Ogah! Melarang gak melarang, kalo udah takdir tetep aja mati!"

Plak! Satu tamparan mendarat keras di pipi Ochi. Khadijah benar-benar murka.

"DIMANA HATI NURANIMU, OCHI?! KENAPA KAMU BEGITU MEMBENCI AKU, APA SALAHKU?" Pertanyaan bertubi-tubi itu keluar dengan air mata yang mulai menetes.

"Masih saja menanyakan kenapa aku membencimu? Gak sadar diri! Karena kamu... Cut harus hamil!"

Baik Khadijah maupun Cut, mereka sama-sama terperanjat mendengarnya. Cut terlihat panik dan malu, dia menunduk dalam-dalam.

Khadijah melihat ke arah Cut, dia tidak percaya pada ucapan Ochi. "Cut, apa yang diucapkan Ochi itu salah, 'kan? Cut, ayok jawab!"

Air mata menetes begitu saja, mengguyur pipi Cut yang merasa sudah tidak memiliki harga diri. "I-itu semua... itu semua benar, Dijah! Aku sudah gak suci lagi." Tangisan samar-samar itu kini terdengar jelas dan semakin pilu.

Khadijah merangkul tubuh Cut yang gemetaran. "Gak, Cut! Jangan bilang gitu... ayok katakan siapa yang tega melakukan itu pada kamu?"

Cut tidak bisa berucap apapun karena 'tak kuasa menahan tangis.

Khadijah berpikir sejenak, lalu teringat akan pelecehan yang dilakukan oleh Pak Haji. "Jangan-jangan Pak Haji?!"

Ochi lagi-lagi terus membuat panas suasana. "Dan ini semua, terjadi karena ulah kamu, Dijah!"

"Kamu diem dulu bisa?" timpal Khadijah yang terpancing emosi.

"Gak bisa, karena memang semua hal buruk yang terjadi di pondok ini, terjadi setelah kamu berbuat lalai!"

Ingin sekali tangan Khadijah menampar mulutnya, tapi ia harus menjaga sikap agar Cut tidak tambah sedih.

"Cut, biar nanti aku yang ngomong sama Pak Haji. Hapus air mata kamu, karena kamu berharga!"

Tangisan Cut mulai mereda, dia menatap Khadijah. "Makasih, Dijah."

"Ya udah, aku mau bersih-bersih dulu. Kamu juga siap-siap tahajud, ya," ucap Khadijah dibalas anggukan.

***

Seseorang mengendap-endap keluar dari Kobong An-Nisa dan berlari kecil menuju bawah tangga. Wajahnya berbinar senang di anak tangga terakhir. Seseorang menyambutnya dengan senyuman yang mengembang.

"Wah wah wah... ada yang lagi bahagia, nih!" sahutnya.

"Iya dong, Bu Rada! Aku tuh seneeeeeng banget karena tadi abis denger berita super mengejutkan!"

Wanita paruh baya itu ikut penasaran. "Waw, berita apa tuh? Cerita dong, Ochi!"

"Bu Rada tahu gak? Bundanya Dijah udah me-ning-gal!"

"Hah?" Mulut Bu Rada terbuka lebar, sorot matanya diselimuti kebahagiaan dan kepuasan. "Seriusan?"

"Dua rius! Tadi dia sempet emosi dan nyalahin aku, tapi aku sih bodo amat. Salahnya sendiri kok yang joroknya minta ampun!"

"Bagus, ternyata rencana kita berjalan mulus banget, ya. Eh, jangan lupa kita harus berterima kasih pada Nyai. Dia yang sudah membantu kita."

"Oh tentu saja, dong. Eh iya, Bu Rada tahu gak?"

"Apa?"

Ochi lagi-lagi tersenyum licik. "Tadi pas bangun tidur, aku lihat darah haid Khadijah berceceran kemana-mana. Seneng bangettt! Bentar lagi mati kan tuh orang?"

"Iya, sih. Bentar lagi mati. Tapi...." Bu Rada memasang wajah khawatir.

"Tapi kenapa, Bu Rada?"

"Keberadaan Nyai juga terancam. Kalung liontin itu ada di Pak Haji. Jadi, kamu tahu kan tugas selanjutnya apa?"

Ochi mengangguk semangat. "Tenang aja, Bu Rada! Pak haji udah pikun, jadi masalah ini gampang diberesin."

"Anak pinter!"

Penjilat Darah Haid - ENDWhere stories live. Discover now