Rania, I love you

712 46 0
                                    

Mereka terpaku di tempat masing-masing. Saling memandang dalam diam, saling menyimpan kerinduan. Rindu yang terhalang dinding tak kasat mata yang bernama salah paham.

Rania tak tahu, begitu tersiksanya lelaki di hadapannya selama ini tanpanya, begitu bahagia perasaan suaminya melihat Rania ada di depannya malam ini. Degub jantungnya bahkan menjadi tak menentu, rasa yang belum pernah ditemukan Raditya saat bersama wanita lain. Dia bahkan telah meninggalkan Mirna, setelah sadar Rania lah yang menghuni sesak hatinya.

Raditya juga tak tahu, bahwa Rania tak pernah sedetikpun berhenti memikirkannya, bahkan dalam tangis yang selalu dia sembunyikan, lara yang berusaha dia redam. Perempuan itu bahkan menolak lamaran Arman, dosen yang diam-diam memendam rasa padanya. Dan sekarang dia telah menyusun rencana dengan studinya ke Belanda, demi menjadikan Raditya kenangan. Sebenarnya karena rasa cintanya yang tak bisa padam.

Begitulah kisah cinta mereka yang sederhana seakan tampak begitu rumit saat ini. Andai saja dari awal Raditya segera sadar dengan perasannya, andai saja Rania bersabar sebentar lagi, apa benar kisah mereka akan berbeda? Hanya takdir yang akan menjawabnya. Tuhan adalah skenario terbaik dari kehidupan manusia bukan? Ada hikmah dalam setiap kejadian, pertemuan dan perpisahan.

Senyap masih mendominasi malam yang mulai meninggi, dingin udara menusuk tulang yang tak mereka rasakan. Pikiran mereka berkecamuk.

Raditya memandang teduh istrinya yang nampak semakin cantik, jilbab merah muda senada dengan gamis kasual tampak pas membalut tubuh wanita itu, ingin sekali Raditya mendekat dan memeluk, mendekapnya dan tak melepasnya lagi, namun tak bisa dia lakukan, bayangan Arman merusak segalanya. Dalam hitungan detik nyeri akibat tusukan di bar tadi pindah ke hatinya, sakit sekali.

Rania memandang lelaki yang masih berstatus suaminya itu dengan tatapan sayang. Raditya terlihat berantakan, mukanya lebam, dilihatnya noda darah menjeplak meninggalkan warna merah di kemeja Raditya. Ingin rasanya Rania mendekat, mengobati luka itu, menyiapkan air panas untuk mandi, memasakannya bubur. Ah, rasanya Rania tak tahan lagi lebih lama di tempat ini, dia takut pendiriannya goyah, dia khawatir dinding pertahannya runtuh.

" Sory Dit, tadi mampir sebentar buat ambil beberapa dokumen. Ehm, sekarang aku harus pergi" kata Rania berpamitan, berjalan melewati Raditya begitu saja.

"Ran...tunggu"

Rania berhenti, diam ditempatnya berdiri

"Kamu mau kemana? Sepertinya kita perlu bicara sebentar." Raditya memberanikan diri mencegah Rania, ada hal yang harus dia katakan, tentang perasaannya yang tak mampu lagi dia pendam, tak peduli jika sudah terlambat sekalipun. Rania harus tahu, bahwa dia mencintai wanita itu.

"Sudahlah Dit, sebaiknya kamu masuk, istirahatlah. Wajah kamu pucat, dan lengan kamu...."

"Oh, ini. Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh sendiri. Hanya tertusuk tadi"

"Hanya tertusuk kamu bilang? Kalau infeksi bagaimana? Kamu kebiasaan ya Dit, selalu meremehkan sesuatu"

Raditya tersenyum, rasanya sudah lama sekali tak mendengar Rania mengomel. Raditya merindukan itu, merindukan segala hal yang ada pada wanita dihadapannya. " Kamu khawatir Ran?"

Rania salah tingkah, kembali dia tak mampu menyembunyikan perhatiannya. "Kata siapa?. Sudahlah sana masuk, aku mau pulang!"

"Adughhhh" Raditya merintih, pura- pura kesakitan.

"Kenapa Dit? Sakit banget ya!" Tanpa sadar Rania mendekat ke arah Raditya, dengan gesit diperiksanya sayatan yang menggores lengan Radit.

"Ya Allah Dit, kamu habis ngapain sih, ini luka lumayan dalam lho. Kamu gak mabuk kan? Bau alkhohol lagi. Kenapa sih Dit kamu selalu kayak gini, suka bikin orang lain khawatir sama kamu. Menyebalkan!"

"Aooooowww!" Raditya kembali pura-pura merintih, demi melihat Rania sedekat ini. Ada hangat merambat di hatinya. "Perih banget Ran, kepalaku juga pusing, kok pandanganku agak kabur ya Ran?"

"Kamu kenapa sih Dit? Susah banget membuat orang di sekeliling kamu tenang, selalu seperti ini!" Runtuk Rania panjang lebar, dihembuskannya napas panjang, tampak memikirkan sesuatu.

" Ayo masuk rumah cepet, luka kamu harus dibersihkan dan diberi antibiotik, kamu pasti juga belum makan malam."Rania masih mengomel sambil memapah Radit masuk ke dalam rumah, lupa kalau dia tadi tak ingin tinggal lebih lama, lupa kalau dia harus secepatnya pergi. Rasa khawatirnya menutup itu semua.

Raditya tersenyum senang.
***

Rania memandang Radit yang memasukkan suapan- suapan besar bubur ke dalam mulutnya, tampak sekali lelaki itu sedang kelaparan. Rania akhirnya membersihkan luka Radit, memberikan obat, menyiapkan air hangat untuk mandi bahkan memasakannya bubur. Lihatlah begitu lemah kan hatinya, hanya melihat Raditya terluka, tak mampu Rania meninggalkannya begitu saja.

"Aku memang ganteng, sudah dari dulu" kata Raditya, sadar kalau dari tadi Rania memperhatikannya.

"Sudah, buruan dihabiskan buburnya, aku mau kompres lebam di muka kamu sebentar, trus pergi" kata Rania, dipandangnya jam sudah menunjuk angka 2. Agak ragu kalau masih ada taksi atau kendaraan yang bisa mengantarkannya.

"Ini sudah malam Ran, kamu mau kemana?, Aku antar!"

"Gak usah Dit, kamu istirahat saja. Aku bisa sendiri!"

"Bahaya Ran, aku gak akan mengijinkanmu pergi!"

"Aku harus Dit!" Rania beranjak mengambil tasnya, menuju ke arah pintu, dia tak boleh disini terlalu lama. Namun ternyata dia kalah gesit, karena Raditya sudah berdiri di depan pintu.

"Dit minggir!"

"Tidak akan"

"Jangan menghalangiku Dit"

"Aku masih punya hak atas kamu Rania, sampai detik ini aku masih suami kamu" Raditya melangkah teratur mendekati Rania

"Kamu mau ngapain Dit?" Tanya Rania was-was. Rania mundur sampai   posisinya tersudut, tak ada ruang bergerak, punggungnya menyentuh tembok dan Raditya mengunci ruang gerak Rania dengan tangannya. Pandangan mereka bertemu, jarak mereka begitu dekat. Rania cemas, akan apa yang akan diperbuat Raditya.

Raditya menikmati momen ini, ditatapnya lekat wajah Rania. Sudah lama sekali rasanya wajah ayu itu menghilang dari hidupnya. Mata Rania yang kian lentik, wajahnya yang kian bersih, bibirnya yang begitu menggoda. Raditya tak mampu menahan diri. Kembali untuk ketiga kalinya Raditya mendaratkan ciuman di bibir Rania, ciuman yang penuh cinta.

Rania menutup mata, tak tahu harus berbuat apa, dia merindukan ini semua, dia masih mencintai Raditya, dia menikmati ciuman itu. Satu menit, dua menit, lima menit, bayangan Mirna tiba-tiba hadir begitu saja, membuat Rania mendorong tubuh Raditya mundur.

Raditya kembali mendekat, mencoba meraih wajah itu kembali, namun Rania menghindar."Kenapa Ran?" Tanya Raditya

"Ini salah Dit!"

"Apa yang salah, kita suami istri sah. Oke mungkin aku salah selama ini Ran, tidak menghargai perasaan kamu. Aku sadar aku salah, aku minta maaf. Aku mohon kamu jangan pergi lagi" Raditya mengiba penuh harap, dia tak bisa hidup tanpa wanita ini. sungguh dia sangat membutuhkannya. "Aku,,aku mencintai kamu Rania..."

Rania terdiam beberapa saat, mendengar pernyataan cinta dari Radit, satu kalimat yang sudah dia nantikan sejak lama. Andai Raditya menyadarinya lebih awal tentu akan berbeda. Rania sungguh tak ingin goyah."Aku sudah memaafkan kamu dari awal Dit, tapi semuanya sudah terlambat. Kamu bebas bersama Mirna atau perempuan manapun"

"Kenapa Ran, apa semua karena ada pria lain?"

Rania tersenyum sinis, sakit sekali rasanya mendengar tuduhan Raditya. "Asal kamu tahu Dit, aku dan kamu tidak sama!" Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, untuk sedetik kemudian menganak sungai.

"Ran sorry aku tidak bermaksud, please jangan menangis" Raditya mendekat berniat menghapus air mata Rania

" Cukup Dit!" Rania menepis tangan suaminya. "Sepertinya kita butuh istirahat, anggap saja ciuman tadi tidak pernah terjadi!"

Rania berlalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Raditya sendirian di ruang tamu. Dia berbisik lirih "Rania, sungguh aku mencintaimu, apa itu tidak cukup?"







Rania dan RadityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang