Sebuah Hasrat

674 33 0
                                    

Jam 8 malam, Rania baru sampai rumah. Rapat kerjasama dengan perusahaan Akbar menghasilkan berbagai keputusan yang sesuai harapan Rania. Kesempatan emas untuk mengembangkan bisnis Hendra di kancah internasional terbuka lebar. Setidaknya, nanti jika Rania harus pergi, dia akan berlalu dengan tenang.

"Baru pulang Ran? sudah puas ketemu Akbar nya?" Raditya muncul dari ruang tengah, membawa laptop di tangannya. Hari ini memang dia sengaja absen dari kantor, terkait persiapan skripsi besok pagi. Tapi, ketika tahu hari ini istrinya rapat dengan Akbar, bukannya bisa belajar, justru pikirannya terbang ke mana-mana. Lega melihat Rania pulang, tapi kesal juga dia rasakan.

"Sudah makan?" Rania balik bertanya. "Capek, lapar. Tau gitu tadi ajakan Akbar buat makan malam bersama aku setujui ya Dit? Kalau sampai rumah dimarahin gini"

Raditya diam, luluh. "Ya sudah sana mandi, solat Isya, biar aku pesen makanan saja gak perlu masak. Mau makan apa?"

"Pizza"

"Oke"

"Terimakasih sayangku"

"Apa kamu bilang tadi Ran?" Tanya Raditya, tak percaya akan pendengarannya.

"Emang apa, gak bilang apa-apa" Rania pura-pura bodoh, keceplosan bilang sayang ke Raditya, dia merasa malu, lalu buru-buru lari ke kamar mandi.
***
"Ran, lama banget sih, ayo makan dulu, keburu dingin pizzanya. Kamu gak tidur kan?" Raditya mengetuk pintu kamar Rania, sudah satu jam lebih istrinya tidak keluar kamar.

"Dit, bisa ambilkan baju ke rumah ibu gak? Bajuku ternyata masih di rumah Mia, trus kemarin buru-buru salah bawa tas, jadi gak ada baju panjang"

"Ini sudah jam 10 malam Ran, masa iya ambil baju ke rumah ibu jam segini! "

"Ya sudah, aku makan di kamar saja"

"Lho kok gitu, kamu gak pakai baju apa gimana sih Ran?. Lagian kemarin kamu kan janji mau bantuin aku belajar buat sidang besok" Raditya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Rania menggigit bibir bawahnya,  dia kalut, pakaian yang tersisa di almarinya adalah setelan blezer untuk ke kantor besok dan satu baby dol polkadot di atas lutut yang biasanya dia pakai tidur. Merasa ceroboh, karena lupa membawa pakaian lebih dari rumah ibu. Sebenarnya tak ada yang salah dengan bajunya, tapi ada rasa tidak siap di hadapan Radit berpakaian seperti ini, walau Radit suaminya, tapi ada rasa ragu yang belum beranjak pergi sampai saat ini.

"Ya sudah Ran, terserah kamu. Pokoknya aku gak makan, kalau kamu gak makan. Besok juga gak akan datang sidang, biarin gak jadi lulus juga tidak apa-apa"

"Oke, aku keluar, tapi janji gak boleh aneh-aneh!"

"Aneh-aneh gimana sih Ran? Aku gak paham!"

"Pokoknya janji dulu!"

"Iya-iya, buruan, laper tahu, udah malam, udah ngantuk, besok harus ba.... " Raditya menggantungkan kalimatnya melihat pemandangan di hadapannya, kaki jenjang Rania yang putih, pundaknya, rambutnya yang diikat ke atas membuat leher indahnya terlihat. Raditya menelan ludah, dia tidak sadar bahwa matanya tak berkedip sedari tadi.

"Dit, jaga pandangan, jangan mikir aneh- aneh, merem kalau perlu"

"Yuk,, ke kamar. .. "

"Apa!! "

"Maksudnya ke ruang makan... "
***

"Lapar apa doyan neng? " Tanya Raditya sedari tadi melihat istri cantiknya makan begitu lahap. Rania yang tahu Raditya memandangnya dari tadi merasa risih dan ingin buru-buru kembali ke kamar.

"Sana makan, nanti matanya jatuh lho kalau gak dipakai kedip" Omel Rania

"Lho yang penting kan halal Ran, kecuali kalau aku melototin cewe cantik di luar sana, nah itu baru gak boleh"

"Bukannya sering ya? " Sindir Rania

"Itu kan dulu Ran, percaya aku sudah berubah, karena kamu"

"Mana tahu aku kalau kamu tidak berbohong, sudah ah sudah selesai aku makannya, mau istirahat"

"Lho cepet banget! Trus ini sidang aku gimana? Katanya mau nemenin belajar? " Raditya mencari celah agar istri cantik dan seksinya itu tak begitu saja berlalu. Banyak sebenarnya perempuan di luar sana yang lebih minim berpakaian, lebih cantik. Tapi kasusnya lain untuk Rania. Keseharian perempuan itu yang selalu tertutup auratnya, membuat tampilan Rania malam ini istimewa bagi Radit. Dia adalah satu-satunya pria yang memiliki hak memandang bagian tubuh Rania. Bersyukur rasanya memiliki istri berjilbab dan taat agama, setidaknya dia merasa spesial.

"Kurang apa sih?"

"Ini aku gak paham perhitungan Simple Latice Design nya"

"Masak gak paham sih? Mana- mana, buruan! "

"Ini lho" Raditya mempersempit jarak dengan Rania, pura-pura bertanya. Aroma sabun yang menguar dari tubuh Rania membuat pikirannya ke mana-mana. Konsentrasi nya memang sudah hilang sedari Rania keluar kamar tadi. Ada denyar yang kuat hadir begitu saja.

Rania merebut bolpoin yang ada di tangan Radit, menulis dengan sungguh sungguh, supaya Raditya paham dan segera berlalu dari hadapan Raditya. Rania takut tak bisa mengendalikan debar di dadanya. Karena memang dari awal cinta itu sudah ada dan tak terkikis sama sekali. Karena buru-buru, Rania menjatuhkan bolpoin ke lantai. Tangan mereka bertemu saat ingin mengambil bolpoin tadi. Tatapan mereka beradu lama.

"Kamu cantik Ran" Raditya membenarkan anak rambut di telinga istrinya, menyentuh pipi putihnya, membelai bibirnya dan detik berikutnya dia memanggut kembali bibir itu.

Rania kaget, mematung pada awalnya, barusaha melepas ciuman suaminya yang entah kali ini terasa panas. Namun ketika semakin dalam ciuman itu, Rania juga menikmatinya, semakin dalam.

Raditya melepas ciumannya dan menggendong Rania ke sofa depan."Dit kamu mau ngapain? "

Raditya yang ditanya tidak menjawab, kembali melumat bibir mungil itu, gairahnya sudah di puncak kepala. Dengan halus dia turunkan Rania ke sofa lalu melepas kancing atas pakaian Rania. Menenggelamkanmu kecupan di leher jenjang istrinya. Rania merasa geli, sekaligus melau menikmati. Tangan Raditya terus berkeliaran. Rania bahkan tak sadar kalau bra nya sudah terlepas.

"Dit,,

" Jangan bicara dulu sayang"

Rania bingung, disatu sisi dia bahagia karena diinginkan, tapi disisi lain ragu itu masih ada.

"Dit, tunggu" Rania berusaha menghentikan pergerakan Raditya yang semakin panas.

"Ran, ayo kita selesaikan dulu"
, napas Raditya  semakin menderu, apalagi melihat tubuh istrinya sudah setengah telanjang karena ulahnya.

"Dit, sorry, aku belum siap, please! " Rania mencengekeram tangan Radit kuat  demi menghentikan aksi suaminya.

Radit mendesah, menghentikan pergerakannya, melumat kembali sekilas bibir istrinya. Menahan semua gelora yang hampir sampai puncaknya.

"Sory Dit, aku.. "

"Okey, aku akan menunggu kamu siap Ran, semoga kamu bisa segera percaya padaku" Raditya membenarkan kancing baju Rania, kembali menggendong nya, kali ini membawa ke kamar Raditya. "Temani aku tidur malam ini, aku janji tidak akan macam-macam"

"Turunkan aku, nanti aku kamu perkosa lagi" Rania was-was

"Bukannya halal ya kita?! "

"Dit, turunin aku"

"Kalau mau memperkosa kamu, sudah dari tadi aku lakukan Ran, diem malam ini kamu nurut sama suami"

Dan malam itu Rania tertidur pulas dalam pelukan suaminya, yang diam-diam berulangkali mengecup bibir istrinya, berusaha kuat menahan hasrat. Apapun itu, jika Rania menyerahkan secara ikhlas pasti akan lebih indah. Raditya hanya perlu bersabar.




Rania dan RadityaWhere stories live. Discover now