Bab 2 - Bukan Pak Haji

8.3K 803 159
                                    

Aroma minyak kayu putih menggelitiki rambut hidung Khadijah, membuatnya tersadar dari pingsan.

“Ochi!” Ia terperanjat bangun, lalu memeluk erat tubuh teman di depannya.

“Ih, apaan sih? Geli tahu, main peluk aja.” Ochi berusaha melepas pelukannya.

“Ochi, makasih ya! Dah tolongin aku.”

“Makasih ke Gusti Allah, bukan ke Ochi! Lagian Dijah kenapa? Balik dari WC kayak orang kesurupan tahu nggak.”

Khadijah memutar otak, mencoba mengingat kejadian buruk yang telah menimpanya. Sesaat setelah itu, ia bergidik ngeri membayangkan dua bola mata yang menggelinding ke arahnya. Lalu darah itu … ah, tidak! Apa benar Khadijah melihat hantu?

Melihat Khadijah melamun, Ochi melambaikan tangan di depan wajahnya. “Hey!”  

“Tayo!” timpal Khadijah spontan.

“Melamun terosss, masih inget gak? Pak Haji nyuruh kamu ngambil air di Lebak.”

“Astagfirullah, iya lupa. Ya udah, aku berangkat ya! Takut Pak Haji ngamuk.” Khadijah mengambil sebuah ember kecil di dekat lemari bajunya, lantas pergi ke luar kobong. 

“Iya ti-hati, woy! Di sana banyak Setannya, haha!” gelak Ochi menakuti.

“Ih, Ochi mah jahat! Ya udah ah assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalaam.”

Derap langkah kaki Khadijah semakin pelan saat di depannya terlihat jalan kecil yang dihimpit dua kebun luas yang gelap. Suasana sangat dingin dan kelam. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 18.27.

Ia kembali melangkah, bismillah.

Beruntung Khadijah sempat membawa senter, karena jika hanya mengandalkan cahaya dari pantulan bulan, akan sangat sulit baginya berjalan. Apalagi ditambah tanah menurun yang becek dengan beberapa akar pohon yang melintang. Ia harus berhati-hati atau jika tidak, tubuhnya akan menggelinding jatuh hingga ujung jalan.

Tap

Tap

Tap 

Kenapa jalan ini begitu sepi? Apa tidak ada orang yang berjalan selain dirinya? Fikir Khadijah. Berulang kali ia merutuki perintah Pak Haji kali ini. Kenapa ia meminta Khadijah pergi cari seember air sendiri di waktu Magrib? Apa tidak bisa lain waktu?

Ah, apa-apaan ini? Sungguh tidak pantas bagi seorang Santri merutuki gurunya sendiri. Akan jadi tidak berkah ilmu yang ia terima.

Akhirnya, Khadijah kembali berjalan. Kali ini, lebih cepat tapi tetap hati-hati.

Grrrrh

Apa? Suara apa itu? Terdengar seperti hewan buas. Sontak Khadijah menyorotkan sinar senternya pada arah suara terdengar. ‘Tak ada. Ah, mungkin hanya halusinasi. Ia kembali menenangkan fikiran.

Perjalanan masih cukup panjang, dan ia harus lebih mempercepat langkahnya. Dengan penerangan seadanya, ia tergopoh di tengah hening malam yang mencekam.

Brukk

Ah, suara apa lagi itu? Khadijah mencoba untuk ‘tak menghiraukannya. Ia tetap berjalan.

Brukk

Suara itu kembali datang, terdengar dari arah belakang. Seperti ada yang mengawasinya, Khadijah menoleh. Lagi, ‘tak ada siapapun di sana. Hanya sugesti, fikirnya.

Kali ini, ia memutuskan untuk fokus ke depan, biarkan saja mereka yang tengah usil.

Tap – tap

Tap – tap

Aneh, setiap kali Khadijah melangkah, selalu ada suara langkah kaki yang membuntutinya. Tidak-tidak! Ini hanya perasaannya saja.

Di tengah langkahnya, tetiba angin berembus kasar. Dedaunan dari pohon-pohon pisang seolah melambai. Karena merasa sangat dingin, Khadijah meletakkan dulu ember yang dipegangnya, lantas memasangkan kupluk jaket yang ia kenakan.

Sial, senter terlepas dari pegangan. Ia  menunduk.

Deg

Ada sepasang kaki berdiri di belakangnya. Mata Khadijah sontak membulat, beriring dengan jantung yang berdegup cepat.

Ia kembali berdiri tegap, bersiap untuk menoleh ke belakang dan mungkin akan pingsan setelahnya.

“Hey, maneh!” (Hey, kamu!) tegur seorang Kakek tua menepuk bahu Khadijah. Ia cepat berbalik.

“Pak Haji! Syukur Alhamdulillah, ada Pak Haji!” sorak Khodijah.

“Nanaonan maneh di dieu? Sorangan deuih.” (Lagi apa di sini? Sendirian pula.)

“Loh, ‘kan Pak Haji yang nyuruh?”

Pak Haji terlihat berfikir sejenak.

“Hayu, balik! Teu eling.” (Ayok, pulang! Gak waras.)

Khadijah membuntuti Pak Haji, matanya memandang tubuh kakek tua di depannya dari atas sampai bawah, takut-takut tidak menapak. Tapi syukur, telapak kakinya yang beralas sandal jepit menempel di atas tanah.

Lalu, siapa Kakek Tua yang tadi marah-marah di kamar mandi?

“Eh, Pak Haji! Ember Dijah ketinggalan.”

“Nya sok candak heula!” (Silakan bawa dulu!)

Khadijah bergegas mengambil ember kecilnya yang tertinggal beberapa langkah. Sesampainya di sana, dari balik semak, samar-samar matanya beradu pandang dengan sepasang mata yang sebelumnya pernah ia temui.

“Ulah sagala ditingali!” (Jangan segala dilihat!).

“Ulah sagala ditingali!” (Jangan segala dilihat!)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ya maaf pendek, nanti malem up lagi dah! ^^

See u ♡

Penjilat Darah Haid - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang