SATU

52 5 0
                                    


Suara perempuan tua itu menggema, beradu dengan suara-suara kendaraan yang lewat didepan rumah anaknya. Matanya jernih, rambutnya yang dulu sering ia sayang-sayang sebagai mahkotanya sekarang harus dipotong pendek oleh cucunya. Pelipisnya sudah cekung, tulang pipinya tinggi, hidungnya kecil. Sisa-sisa kecantikannya masih tampak meskipun sebagian sudah habis dimakan usia juga dimakan penyakit. Perusak penampilan wajahnya hanyalah mulutnya yang tak lagi mengatup sempurna, rahangnya jatuh terkulai tak mampu ia tahan.

Kulit putih pualamnya masih halus walau ia tidak pernah tersentuh lotion mahal. Hanya sabun cair khusus bayi yang selalu anaknya berikan. Bahkan perempuan-perempuan pemerhati kecantikan akan iri pada kulit mulus yang melekat pada dirinya. Kulit mulus yang tak pernah rusak walau terus terbakar di tengah ladang. Hanya keriput yang tidak bisa ia hindari karena penuaan.

Ia terbaring kaku di atas dua kasur kapuk yang di tumpuk menjadi satu, kedua kakinya bengkok kekiri, kaki kanan justru sudah tak dapat di gerakan sama sekali. Sesekali cucu nya menarik perlahan untuk melatih ototnya agar tidak begitu kaku, dan ia akan meraung-raung kesakitan. Kaki itu akan jatuh tidak lebih dari satu menit setiap kali ditegakkan dengan posisi menekuk. Rupanya kaki itupun sudah tidak bisa diselamatkan. Terapi pun akan percuma saja jika dilakukan.

Setiap subuh, Ia akan bangun dan berteriak-teriak disusul batuk yang tak henti-henti akibat mengeluarkan suara yang dipaksakan melawan cuaca dingin. Ia marah karena sudah berkubang dengan air kencing yang lengket dan berbau. Heran padahal ia sudah tak lagi diberi minum karena tersedak setiap kali diberi, tetap saja diaper yang terpasang tidak sanggup menampung kencingnya barang semalam saja.

Dulu saat muda, ia tak pernah menyulitkan orang-orang apalagi anak maupun suaminya. Suami yang kini jengah berlama-lama duduk disampingnya karena tak tahan mendengar suara raungan atau teriakannya. Suami yang juga sudah tua dan dia marahi dengan teriakan tanpa kata. Padahal semasa muda ia tak pernah meneriaki suaminya, jangankan berteriak, berbicara sedikit lebih keras saja rasanya ia akan teramat segan. Suami yang sangat ia cintai meski selalu menyakitinya.

Kini  anak pertamnya lah yang mengurusinya. Menyeka tubuhnya setiap pagi kemudian memberi nya makan dan obat-obatan sebelum mengurusi dirinya sendiri. Ia adalah ibu yang dicintai anaknya, Nenek yang di sayangi cucunya. Perempuan yang diterima di lingkungannya. Sungguh perempuan cantik dari luar dan dalam.

"Entah apa dosaku ini, sampai harus mengurusi sino (1) yang seperti ini. Coba dulu sino dengar kata-kata anak sino ini untuk tinggal di rumah jak ( 2), ndak akan sino susah kayak gini," keluh anaknya karena keadaan sang ibu yang dirasa sungguh tidak adil.

Ia selalu tidak bergeming setiap kali anaknya berkata begitu. Ia akan diam dengan mata berkedip atau pura-pura menelan meski bubur di mulutnya sudah habis. Sehari-hari ia hanya makan bubur karena hanya itu yang bisa masuk ke dalam pencernaannya tanpa tersedak, ia sudah berhenti mengunyah ketika lidahnya sudah ikut rahang jatuh ke bawah. Semua makanan yang masuk ke mulutnya langsung ia telan. Untung saja lidah itu masih ada sedikit kemampuan mendorong makanan perlahan dengan rahang jatuhnya itu.

Setiap kali dimandikan, napasnya akan ngos-ngosan melebihi orang yang mengeluarkan banyak tenaga untuk membersihkan tubuhnya. Ia tidak sanggup untuk miring meskipun dengan di bantu. Tak jarang punggungnya lecet, syukur tak sampai dekubitus. Masih beruntung ia memiliki anak dan cucu yang mampu mengurusinya dengan apik di tengah-tengah hidupnya yang pahit.

"Tuhan, mengapa kau buat nasib Sino seperti ini," begitu ucap anaknya setiap kali ia mengeluh karena sudah lelah. Usianya pun tak lagi muda, ia juga sudah ingin di urusi. Anaknya mengeluh bukan karena tidak mau mengurusi ibunya, tapi lebih karena perasaan sedih melihat kondisi ibunya.

PEREMPUAN TIGA GENERASITahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon