-Prolog-

989 65 5
                                    

-PROLOG-

"Perhatian dari seorang teman, sangat di butuhkan bagi mereka yang 'berbeda' "

×××

"Bangun ... kamu itu harus disiplin!"

"Tidak perlu, lanjutkan saja tidurmu ... tidak ada yang peduli denganmu ...."

"Jangan ganggu dia, biarkan dia memilih pilihannya sendiri. Berhentilah berdebat!"

"DIAM! banyak bicara kalian."

"HAHAHAHAHAHAHA."

Suara-suara aneh itu terus berputar di kepala seorang pemuda berusia 19 tahun. Dia Aksara, lelaki dengan ciri khas sebuah gelang hitam di pergelangan tangan kirinya. Ia baru saja terbangun dari tidur lelapnya, lelaki itu selalu bingung ketika bangun dari tidurnya. Ia merasa bahwa ada segerombolan orang yang terus berbicara sangat keras. Hal itu membuat kepalanya pusing bukan main.

Aksara Aldebaran itulah nama lengkapnya. Hidup hanya berdua dengan kakaknya tidak membuat Aksa sedih, Aksa paham bahwa kedua orang tuanya selalu bekerja hanya untuk dirinya dan saudarinya. Dia tidak ingin menyusahkan saudarinya, tapi sepertinya sang kakak sudah tahu betul tabiatnya, bahkan kejanggalan dalam dirinya pun dapat diketahui oleh sang kakak. Suara-suara dalam kepala Aksa terus bersahutan membuat sang empu berteriak kesal di pagi hari. Ia bahkan bisa melihat segerombolan orang yang mirip dengannya, hanya saja tampilannya berbeda.

Dengan sangat kesal dan risi, Aksa memaksakan untuk pergi mandi. Walaupun suara-suara aneh itu terus mengejeknya. Dirinya mencoba untuk tidak peduli, tetapi suara tersebut justru semakin keras, bahkan lebih keras dari bangun tidur tadi. Lelah sudah pasti, tetapi dirinya masih sanggup menahannya. Pikirnya suara itu pasti akan hilang, entah kapan itu, Aksa masih bisa menanggulanginya.

"Jangan hiraukan mereka ..."

"Ini hanya hayalanmu, hiduplah seperti manusia normal"

"Persetan! Mereka tidak akan peduli denganmu. Kembalilah tidur!"

"Kau tidak punya teman hahahah"

Aksa menggerang stres, lalu berteriak, "DIAM!" Niken–Kakak Aksa, yang menyadari teriakan adiknya, langsung menghampirinya. sang kakak melihat Aksa meremas rambutnya frustasi. Sedangkan sang empu masih beradu dengan suara ilusi dalam kepalanya yang tidak mau berhenti, mereka justru tertawa terbahak-bahak, menyaksikan frustasinya Aksa. Tidak pernah terlintas di benak Aksa sebelumnya bahwa ia memang sefrustasi ini setiap pagi. Suara yang entah dari mana asalnya terus menggangu. Jeritan, tangisan, tawa, bahkan cacian selalu hadir di pagi suramnya. Mencoba tenang namun nihil, rasanya seperti ada konser tersendiri pada kepalanya.

"AKSA!" teriak Niken, hingga Aksa tersentak dan sekejap kemudian semua suara dalam kepala Aksa hilang dengan misterius. Niken menatap Aksa sedih, ia tidak tahu apa yang terjadi pada adiknya. Ia kasihan melihat adiknya yang seperti tersiksa oleh jiwanya sendiri. Terkadang Niken juga memergoki Aksa berbicara di depan cermin kamarnya sendiri, karena tidak ingin memperkeruh suasana, Niken hanya bisa memberitahu hal-hal yang positif saja.

"Kamu kenapa lagi?" Tanya Niken lembut, Aksa menggelang lemah. "Ya udah, yuk berangkat ke kampus. Kakak anterin, sekalian kakak berangkat kerja," ucap Niken seraya merapikan rambut Aksa yang berantakan.

Jiwa Aksa [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang