Special Chapter: Hadiah Istimewa

1.6K 282 40
                                    


Biasanya, selepas pukul sembilan malam, lampu kamar sudah gelap. Aru sudah mulai bersiap untuk memejamkan mata dan terlelap dengan nyaman. Dia tidak suka bergadang. Dia lebih memilih untuk bangun pukul dua pagi daripada tidur tengah malam. Namun, kali ini sudah pukul sembilan lewat sepuluh dan ruangan itu masih terang benderang.

Ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Terdengar suara hela dan debas bergantian seolah mengisi kekosongan yang melanda. Cowok berkacamata itu menatap ke luar jendela yang dibiarkan tersingkap gordennya.

Angkasa tampak begitu suram. Meski langit Jakarta memang jarang memamerkan bintang, tetapi malam ini terasa begitu menyesakkan. Entah perasaan asing apa yang diam-diam menyusup ke dalam sanubarinya. Bahkan cowok itu pun tak mengerti.

Sejak pulang dari kampus, ada sesuatu mengganjal batinnya. Membuatnya tak tenang dan acap kali mondar-mandir tak keruan di kamar. Biasanya, dia tidak pernah sekacau ini. Bagaimana mungkin dia tak tahu cara menenangkan diri? Dia bahkan memilih pulang ke rumah orangtua daripada berdiam di kosnya yang ramai.

"Aru, kamu belum tidur?" Suara ketukan terdengar. Cowok itu bergegas membukakan pintu. Sesosok wanita paruh baya yang tubuhnya sedikit berisi masuk membawa nampan. Asap tipis mengepul dari segelas cokelat hangat dan sebuah muffin kismis.

"Mama lihat lampu kamar kamu masih nyala. Mama kira kamu lagi bikin tugas penting sampai harus balik dari kosan."

Cowok itu menggeleng. "Aru belum bisa tidur, Ma."

Yusti tak berbicara ketika meletakkan nampan di nakas. Sebagai ibu Aru selama delapan belas tahun, dia tahu ada yang tidak beres dengan sang putra. "Ada masalah? Mau cerita?"

Aru tak menjawab. Namun, Yusti bisa membaca dari bibir yang menipis membentuk satu garis lurus, putra keduanya ini sedang menyimpan sebuah masalah. Namun, wanita itu tahu, tak semudah itu mengorek informasi dari cowok yang irit bicara itu.

"Ya sudah, kamu makan aja muffin-nya, terus minum cokelatnya. Siapa tahu ada ide untuk mengatasi masalahmu." Yusti menepuk lengan Aru penuh kasih.

Baru saja Yusti berbalik dan hendak keluar kamar, dia mendengar dirinya dipanggil.

Yusti menoleh dan tersenyum melihat Aru tampak hendak bicara, tetapi masih menyimpan keraguan. "Ngomong aja. Kali Mama bisa bantu."

"Apa cewek kalau marah lama?"

Astaga! Yusti sempat merasa dia salah dengar. Namun, tentu saja tidak. Putranya menyebut kata "cewek". Jika Yusti boleh membeliak kaget dan berbahagia, dia akan melakukannya saat itu juga.

Putra yang selama ini selalu bersikap dingin kepada lawan jenis dan bahkan belum pernah bercerita tentang cewek yang ditaksir, tiba-tiba bertanya tentang cewek yang sedang marah? Wajah Aru yang biasa terlihat datar, kini jelas-jelas memancarkan kekhawatiran. Setidaknya, sebagai ibu, Yusti bisa membacanya dengan jelas.

Ada lompatan besar macam apa di PiNus? Yusti berusaha mengendalikan ekspresinya agar tetap tenang.

"Kamu bikin dia marah?"

Kali ini, Yusti kembali menghampiri Aru dan duduk bersisian dengannya di kasur. Hanya anggukan tipis yang menjadi jawaban.

"Sudah minta maaf?"

Aru menggeleng.

"Boleh Mama tahu kamu ngapain?"

Terdengar embusan napas panjang sebelum Aru angkat bicara. "Aru nuduh Netta yang bukan-bukan. Padahal dia cuma mau minta tolong. Padahal dia cewek yang baik."

Yusti tak bisa menahan senyumnya yang merekah. Aru bahkan sampai mau menyebut nama dan mengatakan dia cewek yang baik. Luar biasa! Dia ingin sekali bertemu cewek yang bisa membuat anaknya jadi seperti ini.

"Kalau Netta emang baik banget, minta maaf saja dengan tulus. Dia pasti maafin kamu."

Aru menatap ibunya dengan tidak yakin.

"Kalau kamu nggak yakin, kasih dia hadiah sekalian." Yusti mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari barang apa yang kira-kira bisa diberikan untuk seorang cewek.

Nihil.

Kamar Aru terlalu minimalis. Hanya ada tumpukan buku dan seperangkat komputer. Tak ada barang yang layak sebagai kado untuk cewek.

Tiba-tiba, terlintas sebuah ide. "Kenapa nggak kamu buatin dia gambar? Gambarmu bagus, 'kan?"

Aru mengangkat kacamatanya sedikit. "Apa Netta bakal suka?"

Yusti memberi semangat. "Jangan buat yang biasa saja. Modifikasi fotonya biar lebih istimewa. Sesuatu yang bisa bikin pesona dia terpancar."

Sedikit dehaman terdengar. "Aru nggak punya fotonya, Ma." Mata cowok itu memejam. "Tapi, Aru bisa bikin wajahnya."

Lagi-lagi, Yusti ingin bersorak bahagia, tetapi dia berusaha keras agar terlihat santai. Sungguh, ini bukan pekerjaan mudah. Dia tidak ingin Aru justru jadi menutup diri. Seperti caranya menaklukkan sikap dingin suaminya, Aru pun harus diperlakukan sama.

"Bagus. Berjuang, ya! Mama tinggal dulu. Tapi, kalau kamu mau cerita-cerita soal si Netta ini sambil gambar, Mama bersedia nemenin."

Aru berjengit sebelum menggeleng keras.

Yusti tak lagi menggoda Aru dan langsung melangkah keluar sembari bersenandung kecil. Putra keduanya akhirnya sudah puber!

Sementara, di kamar, Aru menatap hampa lembar A4 berwarna putih polos di hadapannya. Pikirannya melayang kepada cewek berambut ikal kemerahan dengan bola mata lebar dan sedikit meruncing di ujung itu. Dengan kulit putih dan bibir merah jambu yang memberi kontras menarik.

Ya, Tuhan, kenapa dirinya bisa dengan begitu mudah membayangkan wajah Netta? Sementara detail wajah Ray tak terlalu bisa dia ingat. Padahal mereka selalu bertiga.

Aru tercenung sebentar. Rasa apa yang kini bertahta di hatinya? Perasaan bersalah? Rasa ingin lekas bertemu untuk sekadar berbagi karya? Apa dirinya sudah mengakui kemampuan Netta? Berarti, Netta satu-satunya cewek yang mampu mendapat pengakuannya.

Mau tak mau, Aru harus mengakui dia menikmati perasaan ini. Rasanya cukup menyenangkan. Lalu, ketika dia sadar, sketsa wajah Netta sudah terbentuk sempurna di atas kertas.

Aru mengerjap tak percaya. Betapa cepat proses ini terjadi. Tanpa foto sama sekali. Namun, rasanya ada yang kurang. Dia ingin membuat hadiahnya lebih istimewa.

Kesan apa yang ingin dia tonjolkan dari Netta? Cewek seperti apa Netta itu?

Mata Aru memejam perlahan sembari berpikir. Cewek pemberani yang meski tahu Aru akan menolak, masih nekat minta bantuan. Tak ada cewek yang berani mendekatinya seperti Netta.

Aru menorehkan warna merah menyala pada bagian rambut dan bibir.

Cewek yang terlihat kuat, tetapi entah mengapa terkesan begitu lembut dan rapuh. Aru merasakan sesuatu menyayat hatinya. Perih. Baru pertama kali dia merasa ada sesak mengimpit dadanya melihat tangis seseorang.

Aru menggemeretakkan gigi.

Dia tak mau merasakan sakit itu lagi. Dia tak ingin Netta meneteskan air mata lagi. Cewek itu seakan bisa pecah kapan saja. Instingnya berkata demikian.

Seiring kebulatan tekad untuk membuat Netta kembali tersenyum, Aru menyelesaikan gambarnya. Diamati hasil kerja kerasnya itu.

Sempurna.

Mungkin nanti bisa ditambahkan sedikit detail. Namun, sekarang dia harus tidur agar tidak kesiangan.

Sekali lagi, Aru memandangi ilustrasi wajah Netta di meja, sebelum akhirnya ruangan dibuatnya menjadi gelap gulita.[]

[CAMPUS COUPLE] Shireishou - EyenomalyWhere stories live. Discover now