Special Chapter: Jangan Ikut, Dong!

1.5K 289 54
                                    


Sesosok cowok bertubuh tinggi sedang berusaha mengatur napasnya yang memburu. Hatinya sedang kesal luar binasa. Yup! Binasa semua! Bukan sekadar kesal yang biasa saja. Berkali-kali dia mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Ray, kamu udah tiga tahun di Jakarta masih kena kutu?"

Yang dituduh mendelik tak terima. Cowok berusia delapan belas tahun itu baru saja membuka mulut untuk membantah, tetapi dia mengurungkan niat. Percuma memprotes pria paruh baya di hadapannya itu pagi-pagi begini. Hanya akan membuat dirinya lelah sendiri.

"Perlu Mami beliin obat kutu?"

"Stop, Mi! Please ...." Kali ini, Ray menutupi wajahnya yang mungkin memerah karena kesal sekaligus marah.

Bukan berarti dia membenci kedua orangtuanya, tetapi bagaimana bisa papinya menuduh rambut kecokelatan ikal dan lebat miliknya ini menjadi sarang kutu? Apa mereka tidak tahu bahwa keramas adalah hal yang paling disukainya saat mandi? Mau ditaruh di mana harga diri seorang Ray Hidayata jika rambutnya yang indah sampai ketombean apalagi kutuan. Cowok itu bergidik membayangkannya.

Yang paling parah, tentu saja karena tuduhan itu diucapkan dengan suara menggelegar di tengah jalanan umum seperti sekarang. Beberapa mahasiswa tampak berbisik-bisik sembari menatap heran ke arah keluarganya.

Sekarang coba jawab, orang mana yang tidak merasa aneh jika ada sekelompok manusia yang berkerumun pagi-pagi buta di jalanan depan kampus Pinus dan malah membicarakan kutu?

Sang Ayah, Abimanyu, tingginya melebihi dua meter, dengan wajah mirip yakuza, lengkap dengan codet panjang di kening kirinya. Pakaiannya serbahitam dengan long coat berkibar yang menambah seram penampilannya.

Sementara sang ibu, Wahyuni, kebalikannya. Tingginya hanya 152 cm. Nyaris hanya lebih tinggi sedikit dari siku suaminya. Tak terlihat berusia 40-an. Wajahnya begitu imut dan awet muda. Kadang, Ray sendiri heran kenapa ibunya yang selembut itu mau menikah dengan ayahnya yang brutal? Namun, ditepisnya semua pikiran ajaib itu. Karena bagaimanapun, jika mereka tidak menikah, dirinya tidak akan lahir.

Belum lagi mereka dijaga dua bodyguard bertubuh gempal. Total ada sembilan orang berkerumun di tepi jalan. Tujuh di antaranya berwajah 100% sangar bin gahar!

"Pi, Mi, Ray mau kuliah. Tolong, enggak usah diikutin sampai kampus." Ray berusaha tersenyum. Netra cokelat cerahnya berkilat penuh permohonan. "Mami dan Papi di kosan aja sampai Ray balik. Okeee?"

"Ndak iso, Le. Mami mau lihat kampusmu koyok opo." Wahyuni menggelayut di lengan kukuh suaminya seolah meminta persetujuan.

"Iya, Papi juga mau lihat apa kamu bakal punya temen-temen baik kayak di SMA."

Ray kembali menepuk dahinya pusing. Masih segar dalam ingatan bagaimana kedua orangtuanya melakukan inspeksi ketat saat dirinya pertama kali memutuskan sekolah di Jakarta, jauh dari orangtua. Ray ingin mandiri, tidak bergantung pada bayang-bayang ayahnya. Sayangnya, harapan itu tak terwujud. Ketika Abhimanyu datang ke sekolah, lengkap dengan pasukan pelindungnya, tentu wajah Ray langsung diingat oleh semua orang sebagai anak penjahat kelas kakap yang harus dijauhi.

Masih bagus dirinya punya kepribadian supel, ramah, dan pede akut hingga intimidasi sang papi terhadap teman-temannya lumer ketika dia naik ke kelas dua. Tentu itu bukan suatu hal yang mudah. Kali ini, Ray tidak akan membiarkan itu terjadi!

"Pi, Ray udah gede. Masa masih juga enggak percaya sama Ray?"

Abhimanyu berdecak tak suka. "Papi bukannya enggak percaya. Tapi, kamu anak Abhimanyu Wirdyahudo, rajanya ukiran Jepara. Terkenal bikin takut mafia kayu." Dada bidangnya dibusungkan sambil ditepuk satu kali. "Siapa tahu ada anak dari musuh Papi yang kuliah di sini."

"Yaelah, Pi. Udah jauh-jauh ke Jakarta, masa ada anak musuh Papi juga? Lagian, yang musuhan kan Papi, kenapa Ray dibawa-bawa?"

"Mami sama Papi cuma mau buktiin sekali aja, kok. Habis itu kami balik ke Jepara."

Ray menarik napas panjanag. "Iya, cuma sekali, tapi bikin teman-temanku kabur semua."

Tiba-tiba, tepercik sebuah gagasan di kepalanya.

"Mi," kali ini Ray bergerak ke arah Wahyuni sambil menggenggam tangannya lembut, "Mami pengin nimang cucu, 'kan? Mami tahu sepanjang SMA Ray putus terus rata-rata karena mereka takut sama ehem ... calon bapak mertua?" Selintas, diliriknya Abhimanyu yang balas memelotot tak rela.

"Maksudmu, Mami dan Papi yang bikin kamu enggak punya cewek?" Wahyuni terlihat sangat bersalah.

Ray menggeleng cepat, merasa tidak enak dengan kesimpulan Wahyuni. "Aku enggak nyalahin Mami dan Papi. SMA memang waktunya Ray fokus untuk belajar. Tapi, sekarang kan udah kuliah. Selain rajin belajar dan lulus tepat waktu, Ray udah mulai harus nyari cewek buat dijadiin target incaran calon istri masa depan."

"Gayamu!" Papi mencebik sinis. "Emangnya kamu udah punya kriteria khusus?"

Ray terdiam. Sejujurnya, dia hanya mencari-cari alasan. Dia hanya tidak ingin dijauhi lagi gara-gara orangtuanya. Tak banyak cewek yang bisa terima jika punya teman dengan orangtua berwajah sangar dan memang jago berkelahi. Lagi pula, dia tidak ingin dosen-dosen memberinya perlakuan khusus hanya karena status orangtuanya.

"Pastinya cewek yang mau nerima Mami dan Papi." Ray mengangkat bahunya cuek. "Jadi, jangan dibikin takut duluan. Siapa tahu nanti ada kandidat bagus, tapi malah lepas sebelum tertangkap."

Sebuah cubitan di kedua pipi terasa. "Aduh, anak Mami udah dewasa. Ya ampun, Pi! Kita bakal punya cucu sebentar lagi!"

MASIH LAMA, WOOOI! Ray menjerit dalam hati.

"Iya, iya. Mami, sih, setuju aja. Mau dari kalangan kaya atau miskin, asal dia manis, rajin, pekerja keras, dan kalian saling mencintai, Mami enggak banyak syarat."

"Mi, barusan itu syaratnya udah panjang, lho!" Abimanyu mengulum senyum dan membelai kepala istrinya seperti mengelus anak kecil.

Ray tergelak melihat betapa mesranya kedua orang itu meski penampilan mereka berbeda kutub.

"Ya udah, aku pamit dulu." Cowok itu menjabat tangan kedua orangtuanya dengan takzim.

"Belajar yang rajin." Abhimanyu menjabat tangan putra kesayangannya erat. Masih tak percaya bahwa tiga tahun lalu, Ray nekat minta merantau ke Jakarta. Ingin serius membuat komik, katanya. Padahal, sebagai ayah, Abimanyu sudah menyediakan kantor cabang khusus untuk dimanajeri, jika Ray mau. Namun, putra tunggalnya itu memilih jalur sulit dan merintis usahanya sendiri dari bawah. Selama dua tahun, akhirnya Ray bisa membuktikan bisa membayar uang sekolahnya sendiri. Meski akhirnya Abimanyu mengganti seluruh pengeluaran sang putra, tetapi pria tinggi besar itu yakin Ray bisa berdiri sendiri. Dia memang sedih karena kehilangan penerus bisnis keluarga, tetapi itu bukan masalah. Selama putranya bahagia, itulah yang paling penting baginya.

"Jangan lupa kenalin ke Mami pacarmu nanti. Mami pengin lihat."

"Ya ampun, Mi! Nemu juga beluuum."

"Feeling Mami bilang kamu bakal langsung jatuh cinta begitu kenalan sama cewek. Mami doain."

Abhimanyu tertawa keras mendengar celoteh istrinya. "Feeling mamimu jarang salah, lho!"

Mereka berdua pun tertawa.

***

Akhirnya Ray bisa menelungkupkan wajahnya ke meja dengan lega. Rasanya lelah sekali pagi-pagi sudah harus berdebat dengan orangtuanya.

Jatuh cinta, ibunya bilang?

Ray sedikit pun tidak yakin.

Ketika dia mendengar langkah kaki mendekati meja, kantuknya masih terlalu berat untuk membuatnya sekadar membuka mata dan melihat siapa yang datang. Dia hanya ingin beristirahat sejenak. Karena, ketika dia terbangun, mungkin saja takdir akan mempertemukannya dengan kisah baru penuh warna.[]

[CAMPUS COUPLE] Shireishou - EyenomalyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang