Bab 19: Duka

2.8K 403 167
                                    


Netta langsung berlari ke dalam kamar. Sayang, belum sempat Netta mengunci pintu, Ahsan sudah mengekor ketat di belakang.

"Papa mau ngomong." Tanpa dipersilakan, Ahsan langsung duduk di kursi komputer.

Netta duduk di kasur. Wajahnya ditekuk dengan tangan memeluk bantal ungu berukuran besar. Tampak jelas cewek itu sedang ngambek berat. Matanya sama sekali tak mau menatap ke arah Ahsan yang kini terlihat salah tingkah.

Pria itu menyalakan pendingin ruangan. Angin segar yang berembus tak juga menetralkan gerah yang tercipta.

"Kamu marah?"

Netta menelusupkan wajah ke dalam bantal. Pura-pura tak mendengar. Hatinya terlalu sakit. Harus diakui, dia memang lalai tidak memberi tahu Ahsan bahwa dia akan pulang malam. Mewarnai tugas yang penuh detail membuatnya lupa waktu. Apalagi tenggat sudah sangat dekat. Lusa tugas itu harus dikumpulkan, maka tak ada lagi waktu untuk menunda.

Belasan missed call dari Ahsan tentu menandakan pria itu sangat cemas. Ponsel yang disunyikan juga salah satu penyebabnya. Namun, tindakan Ahsan yang sama sekali tak memberi kesempatan baginya untuk menjelaskan, membuat Netta sangat dongkol. Cewek itu bukan tipe yang bisa membantah perkataan Ahsan, tetapi juga bukan tipe yang bisa tetap tersenyum saat dimarahi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah.

Kini, dia hanya bisa menutup wajah dan telinga rapat-rapat. Dia tak ingin mendengar Ray dijelekkan seperti tadi lagi.

"Wah, beneran marah." Ahsan bangkit dan duduk di sisi Netta.

Cewek itu dengan cepat menggeser badannya agar tak bersentuhan dengan Ahsan. Tanpa sadar, air mata sudah mulai jatuh membasahi bantal. Dia kesal terhadap ketidakadilan dan tuduhan yang Ahsan lontarkan kepada Ray. Padahal cowok itu sudah membantunya sekuat tenaga. Tanpa jasa-jasanya, mungkin malam ini kertas tugas nirmananya masih berwarna hitam dan putih.

"Memangnya kalian ngapain sampai malam?" Ahsan berusaha membelai kepala Netta, yang langsung ditepis. Hati pria paruh baya itu terasa tersayat. Sepanjang ingatannya, Netta tidak pernah marah. Cewek itu selalu terlihat ceria. Bahkan, jika dipikir, dia belum pernah sekali pun bercerita tentang lawan jenis yang disuka. Apa cowok tadi pacarnya?

Ahsan menarik napas. Dia harus tenang. Setidaknya, selama ini Netta tak pernah menutupi apa pun. Mungkin anaknya itu hanya perlu diajak bicara baik-baik.

"Kamu bener-bener enggak mau ngomong? Kalau kamu enggak ngomong, mana Papa ngerti?" bujuk Ahsan lagi.

Tiba-tiba Netta mendongak dan menatap Ahsan penuh duka. "Tadi Netta mau ngomong enggak didengerin. Terus sekarang buat apa Papa mau denger?"

Ahsan hanya terdiam melihat reaksi Netta yang di luar dugaan. Terlebih ketika mata cewek itu ternyata memerah karena menangis. Mau tak mau Ahsan merasa bersalah. Namun, keamanan anaknya jauh lebih penting. Dia tak bisa membiarkan seorang cewek keluyuran hingga larut malam apa pun alasannya. Yah, setidaknya kalau memang ada keperluan mendesak, dia harus telepon atau mengirimkan pesan WhatsApp. Tadi Netta benar-benar mengabaikan semua panggilannya. Apa yang mereka sembunyikan?

"Memang kalian ke mana?"

"Kami cuma bikin tugas bareng yang harus dikumpul lusa! Lalu Papa marah-marah enggak keruan, padahal Ray yang nolongin Netta!"

Ahsan berusaha bersabar. "Lalu, mana tugasnya? Papa pengin lihat." Pria itu berusaha mengubah pembicaraan dan berencana memuji hasil kerja anaknya.

Netta terdiam sejenak. Hatinya merasa waswas. "Enggak dibawa." Suara cewek itu terdengar pelan. "Takut belum kering. Jadi ditinggal di kosan Ray."

"APA?! KALIAN BIKIN TUGAS DI KOS LAKI-LAKI!" Nada Ahsan meninggi. "Pakai alasan tugas ditinggal! Padahal kalian cuma main aja ke mal, 'kan? Udah jelas motor dia pakai tipe sok gaya begitu! Ngaku aja! Dia bahkan udah berani ngajarin kamu berbohong!"

[CAMPUS COUPLE] Shireishou - EyenomalyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang