Prolog

121 21 4
                                    

"Haruskah gue minta maaf gitu sama dia? Gue tadi takut aja sama fans-nya kalo liat dia berduaan sama gue. Ah, tapi dia kan cowok. Pasti masalah begini dia nggak mikirin banget sampe jungkir balik," oceh Ayla. Ia pun mengembuskan napas. "Tapi nggak ada salahnya juga, sih, minta maaf."

Si sopir yang mendengarnya pun melirik kaca spion, melihat tampang nonanya yang terlihat gusar. "Masih sakit, Non?"

"Iya, Pak," jawab Ayla. "Ayla mau tanya dong, Pak. Apa Ayla harus minta maaf kalau Ayla salah?"

Pertanyaan bodoh Ayla. Anak TK pun pasti sudah tahu apabila melakukan kesalahan, harus minta maaf. Gadis itu kini mengulum bibir, pertanyaan itu mampu membuatnya malu.

"Ya jelas lah, Non. Masa engga?"

"Iya, Pak. Makasih."

Mobil pun sudah memasuki area parkir halaman depan rumah megah milik kedua orang tua Ayla yang berdiri sudah sekian tahun. Ayla membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya dengan hati-hati.

"Perlu bantuan, Non?"

"Nggak usah, Pak," sanggah Ayla. Dirinya menutup pintu mobil dan melangkah sambil tertatih memasuki rumah.

"Aku pulang," ucap Ayla pelan saat berada di dalam rumah. Dirinya kini urung ingin melangkah ke kamar. Terlebih, lututnya yang luka itu sangat menyusahkannya berjalan. Gadis itu pun memilih untuk duduk di sofa terdekat.

"Mas, Mas!"

Ayla menoleh mendengar suara ibunya. Dilihat sang ibu sedang berusaha menggapai tangan si ayah, namun pria itu semakin melangkah cepat sembari membawa koper.

BRAK

Diempaskannya koper itu di teras rumah. Pria itu berbalik, ingin meladeni istrinya. Namun atensinya beralih pada si anak yang sedang duduk di sofa.

"A-ayah? Kenapa bawa koper?"

Si ayah membuang napas dan mengelus tengkuk. "Rumah ini mau Ayah jual, Nak. Perusahaan Ayah bangkrut."

"Mas, jangan rumah ini. Aku mohon jangan rumah ini," pinta sang istri.

"Ya, tapi kan mau gimana lagi? Rumah ini satu-satunya yang bisa nutupi hutang kita. Kamu gimana sih?"

"J-jual aja perhiasan aku, Mas. Asal jangan rumah ini. Kamu nggak inget usaha kita bangun rumah ini?" tanya sang istri yang tampak cemas.

Si suami memegang kedua bahu sang istri. Menatapnya dalam. "Istriku, kumohon tenanglah. Aku sudah mempersiapkan rumah kontrakan yang nyaman dan bayarannya pun cukup murah. Perhiasanmu itu, kita jual kalau sewaktu-waktu keadaannya sangat tidak memungkinkan. Kita sabar dulu, ya?"

Sang ayah menghela napas, dilirik wajah putri semata wayangnya yang tampak tegang. "Siapkan barang-barangmu. Ayah tunggu di luar."

Tubuh Ayla melemas. Pikiran-pikiran yang membuatnya cemas pun berdatangan. Bagaimana dengan kebutuhan hariannya nanti, apakah harus mengemis agar mendapatkan uang? Dan tentang sistem sekolahnya ....

Ayla menggeleng, menepis pikiran-pikiran itu. Namun melihat spanduk yang ditempel ayahnya di pintu rumah, ia yakin bahwa yang di pikirannya itu bisa saja terjadi.

******

Karya dari team Glowie-Glo ✨  Stay tune 😊
Don't forget Comment and vote
Bye, see you👋

Senjang yang DiperjuangkanWhere stories live. Discover now