"Aku udah besar kok. Bude sama Tante gak usah pusing mikir siapa yang harus ngurus aku. Seenggaknya aku masih punya rumah peninggalan Ibu sama Bapak buat aku tinggal." Suara serak Biru terdengar bersama segaris senyum tulus yang menenggelamkan manik sabitnya.

Namun, dari apa yang Biru katakan membuat Laras menghilangkan raut prihatin yang semula ia pasang di wajah kuyunya. Berganti datar dengan garis wajahnya yang terlihat tak senang.

"Biru, rumah yang Bapak sama ibu kamu tinggali itu punya bude. Bude cuma berbaik hati kasih kalian tumpangan. Karena Ibu dan Bapak kamu sudah meninggal, dan Arin butuh dana besar buat operasi, Bude terpaksa jual rumah itu buat urus pemakaman Bapak sama ibumu, sisanya bude pake buat biaya operasi Arin."

Detik setelahnya, segaris senyum yang berusaha Biru pertahankan di wajahnya memudar bersama binar harapnya yang tak lagi bercahaya. Bocah itu seolah tak mampu lagi memasang topeng agar terlihat tegar saat tidak ada yang bisa Biru jadikan sandaran.

"Mbak kenapa gak bilang kalau jual rumahnya Mas Aris. Harusnya aku juga dapat bagian dong mbak, Aku juga adiknya." Sahutan bernada tinggi  Tante Mayang suarakan setelah mendengar pernyataan Bude nya.

Laras justru bangkit mendekati Mayang dan menuding Mayang dengan tatapan sinisnya, "Memangnya kamu yang urus pemakaman Aris sama Sinta. Saya yang paling tua, jadi saya yang berhak atas tanah dan rumah itu. Lagipula dari awal rumah itu milik saya. "

"Nggak bisa begitu dong mbak. Aku juga adiknya Mas Aris, aku berhak dapat bagian dia setelah dia mati. Bukan cuma kamu aja. Ini nggak adil buat aku."

"Kamu bilang gak adil setelah jual aset-aset peninggalan orangtua kita dulu. Ngaca kamu, Mayang."

Kedua wanita yang sudah sama-sama di usia matang itu saling meninggikan suara seiring perdebatan mereka yang semakin panas. Entah saling menuding atau melempar kalimat kasar yang tidak seharusnya mereka perdengarkan di hadapan remaja tanggung yang baru saja kehilangan kedua orangtuanya. Mereka terus berdebat tentang harta warisan.

Tanpa memperdulikan presensi Biru yang tengah menunduk menyembunyikan manik sabitnya yang mulai memerah berkaca-kaca. Jemari mungilnya yang bergetar memilin ujung pakaian duka yang ia kenakan. Berusaha mengurangi sesak yang membelenggu di dadanya yang membuatnya kepayahan mengais udara.

"Terus, aku tinggal sama siapa?"

Lirih kalimat yang Biru perdengarkan membuat atensi Laras dan Mayang terbagi. Keduanya melirik pada Biru yang menatap mereka dengan manik lugu dan memancarkan sirat kecewa.

"Kalau aku nggak boleh ikut sama kalian, dan rumahku kalian ambil, aku harus pulang kemana nanti. Aku harus tidur di mana kalau satu-satunya rumahku buat pulang udah Bude jual."

Biru mendongkak, memperlihatkan seberapa kacau perasaannya. "Ibu sama Bapak baru aja meninggal. Rumah mereka yang harusnya masih bisa aku tinggali justru di jual. Kalau kalian nggak mau menampung aku, Aku harus kemana? Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain Bude sama Tante."

Tubuh Biru yang cenderung mungil di banding remaja seusianya itu bergetar seiring isakan lirih yang tidak mampu ia tahan. Bocah itu bahkan baru berhenti menangis setelah kedua orangtuanya di kebumikan.

Biru sudah tidak memiliki siapapun lagi yang sudi menampungnya. Awalnya Biru pikir tidak masalah jika Mayang dan Laras enggan menampungnya selama ia masih punya tempat untuk pulang. Tetapi saat menerima fakta bahwa rumah peninggalan Bapak telah di jual, dan baik Bude maupun tantenya enggan menampungnya. Biru rasa ia benar-benar sendiri, tanpa ada siapapun sudi mengulurkan tangan untuk memberinya tempat untuk pulang.

"Aku udah sendirian. Aku nggak punya siapa-siapa lagi," lirih si mungil dengan nada bergetar yang kian jelas terdengar.

"Ada saya. Kamu masih punya saya."

Namun, sepersekian detik setelahnya Biru mendengar lantang kalimat tegas yang di ucapkan oleh pemuda asing yang tiba-tiba hadir di tengah perdebatan Bude dan Tantenya.

Tegas suara berat itu baru pertama kali Biru dengar sepanjang ia hidup. Pun wajah dingin nan tegas yang terlampau asing yang tiba-tiba datang, membawa fakta mengejutkan yang sulit Biru terima setelahnya.

Untuk pertama kalinya, jelaga sehitam arang itu bersitatap dengan manik cokelat madu Biru yang berbingkai kaca.

Pemuda dingin itu membawa langkah tegapnya menghampiri Biru tanpa mempedulikan entitas Mayang dan Laras yang masih sama-sama mematung di tempatnya. Hingga kemudian ia berjongkok untuk menyamai tingginya dengan Biru sebelum lantang kalimatnya kembali ia perdengarkan.

"Nama saya Galaksi, kakak kamu. Mulai hari ini kamu akan tinggal dengan saya, Sabiru."

 

 

 

To be continued.

Halo cantik, ganteng, sis, bro 👋
Aku kembali membawa Sabiru untuk kalian.
Aku bakal rutin up chapter Sabiru, kemaren jaringan di kotaku bermasalah, dan HP ku lngsung nge-crash setelah notif jebol. Mangkanya aku salah pencet dan malam unpublished Sabiru ini🤧

Maafkan aku, tapi dari kesalahan kemarin aku jadi punya kesempatan buat sdikit merevisi kesalahan dn typo di sini🤧

Terimakasih buat yang masih mau menikmati karyaku ❤

Semoga kalian gak bosan

Love❤

Rengkuh Sang BiruWhere stories live. Discover now