Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.

1.9K 273 100
                                    


Follow IG : Lalanaraya
_________

Malam itu, saat angkasa yang begitu pekat di taburi eksistensi ribuan bintang serta sapuan sinar bulan purnama, Bapak kembali mengajak Biru untuk menghitung konstelasi-konstelasi yang ada di langit.

Selalu seperti itu. Meskipun hidup dengan ekonomi pas-pasan yang terkadang masih harus berhutang sana-sini, Bapak termasuk tipe orang yang santai dan selalu berusaha meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan Biru dalam satu hari.

Setiap malamnya, selepas salat Isya, Bapak pasti akan mengajak Biru keluar saat langit sedang cerah, tidur beralaskan tikar di teras rumahnya untuk melihat ribuan bintang dan konstelasi yang di buatnya. Lalu menanyai Biru seputar hari yang ia lalui. Seperti bagaimana Biru berangkat setelah mengantarkan susu di pagi hari, bagaimana Biru yang membantu Ibu menjajakan kue tradisional buatannya di kantin sekolah, juga seperti apa hari yang Biru lalui di sekolahnya.

"Bapak tuh, kayak orang bener kalo lagi bahas konstelasi dan tata surya. Padahal cuma kuli, tapi seneng banget sama saints."

Biru berujar setelah Bapak menjelaskan tentang konstelasi bintang Cassiopeia. Salah satu rasi bintang yang paling terkenal di Galaksi bimasakti.

Jika sudah membahas saints dan segala isinya, Bapak seolah lupa jika Biru masihlah bocah kelas tiga sekolah dasar yang belum mempelajari hal tersebut.

"Jangan salah, Ru. Bapakmu ini dulu tuh selalu wakilin sekolah buat Olimpiade saints. Otak pinternya kamu, ya dari bapakmu yang kuli ini," tukas Bapak yang kala itu masih cukup bugar dan sehat.

"Terus kenapa Bapak jadi kuli? Bapak bilang kalo pinter bakalan jadi orang bener," ucap Biru dengan tatapan polosnya.

Meskipun sedikit tertohok, Bapak masih mampu mengumbar tawa seraya mengusak gemas surai pekat Biru.

"Kadang nih, ya, Ru. Meskipun kita udah berusaha dengan maksimal, Tuhan bakal nguji kita dengan kegagalan. Bukan karena Tuhan nggak adil, tapi itu bentuk dari proses pendewasaan dalam hidup, Ru. Tuhan pengen tahu sampai sekuat mana kamu bertahan, dan kalo kamu bisa bertahan sampe akhir, kamu bakal dapat hadiah dari kesabaran kamu."

"Jadi, kalo Biru sabar, Biru bakal dapat hadiah dari Tuhan?"

Bapak mengangguk pelan, janggut-janggut tipis di dagunya ikut bergoyang tersapu angin. Senyum tipis Bapak ikut terlihat segaris dengan bagaimana hangat tatapnya pada Biru.

"Bener, kuncinya itu sabar," jawab Bapak setelah mengambil jeda untuk sejenak. "Nanti kalo kamu udah beranjak dewasa, atau bahkan saat kamu masih berproses di masa remaja, kamu mungkin bakal dapat yang namanya ujian. Ya sama kayak ujian kelulusan sekolah, nanti kalo kamu berhasil ngerjain ujiannya dengan baik, kamu bakal lulus, dapet hadiah dari bapak. Sama kayak hidup. Anggap aja semesta lagi seleksi orang-orang yang kuat, kalo kamu berhasil lewatin ujian itu, kamu bakal dapat hadiah dari Tuhan."

"Hidup itu bukan sekedar tarik napas buang napas. Bukan melulu soal percintaan atau obsesi buat jadi orang sukses."

Bapak alihkan teduh tatapnya pada gugusan rasi bintang Cassiopeia yang katanya bisa Bapak lihat dengan mata batinnya, sebab yang Biru lihat di atas sana hanya hamparan bintang yang bertaburan di langit menyerupai ketombe di rambut Bapak.

"Hidup itu perihal menyambut dan melepas. Perihal datang dan pergi. Itu makna hidup yang sebenernya, Ru. Yang jarang orang-orang sadari."

"Kenapa gitu, Pak?"

"Ya karena manusia itu sejatinya fana. Manusia lahir di dunia dan di sambut dengan hangat, beranjak dewasa punya obsesi masing-masing yang bersifat duniawi. Tapi mereka lupa mereka itu di lahirkan untuk mati pada akhirnya. Tempat mereka pulang yang sebenarnya nanti ya setelah di kafani."

Rengkuh Sang BiruWhere stories live. Discover now