#Track 9: Leaves

420 64 46
                                    

But how can I try to hide
When every breath and every hour
I still end up thinking of you
And in the end everything we have makes it worth the fight
So I will hold on for as long

From waves overgrown come the calmest of seas
And all will be alright in time
Ohh, you never really love someone until you learn to forgive

Leaves by Ben&Ben

Jinyoung terbangun ketika alarm ponselnya berbunyi. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja, ia mematikan alarm dengan menekan satu tombol, lalu bangun dengan posisi terduduk di atas tempat tidurnya.

Tempat tidur itu terasa lebih besar dari biasanya, dan selimut tebal yang terpasang di atasnya juga tidak bisa menyelamatkannya dari dingin ruangan. Nayeon tidak tidur di sini tadi malam, tidak seperti malam-malam sebelumnya saat kekasihnya itu menginap dan tidur di pelukannya hingga matahari terbit. Mungkin karena itu Jinyoung merasa ada yang berbeda pagi ini.

Sedikit lagi, sedikit lagi. Jinyoung berusaha menghibur dirinya sendiri dengan cara mengingatkan dirinya sendiri bahwa Nayeon berjanji akan menyelesaikan hubungannya dengan Minhyuk kemarin. Tapi sampai sekarang, tidak ada kabar dari gadis itu. Apakah semuanya berjalan lancar? Apa mereka sudah putus? Kalau iya, bolehkah Jinyoung merasa bahagia karena Nayeon akhirnya kembali jadi miliknya seutuhnya, atau haruskah ia merasa bersalah pada Minhyuk?

Harusnya ia tidak bangun sepagi ini, Jinyoung menggerutu dalam hati. Bangun pagi berarti ia harus berurusan dengan pikiran-pikirannya lebih lama, apalagi Nayeon tidak ada di sini untuk menenangkan atau mengalihkan perhatiannya. Ia hanya benci mendengarkan suara-suara yang berasal dari pikirannya sendiri, yang justru akan membuatnya semakin terpuruk dan khawatir.

Bagaimana kalau Nayeon tidak memilihnya? Bagaimana kalau Nayeon ternyata sadar bahwa Minhyuk lebih baik daripada dirinya? Bagaimana kalau suatu hari Nayeon terbangun dari tidurnya dan teringat tentang apa yang Jinyoung lakukan pada gadis itu dulu—lantas membuatnya menyesali keputusan mereka beberapa bulan terakhir ini?

Jinyoung kembali berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran konyol itu dari pikirannya, yang seperti biasa hanya berujung sia-sia. Ia mengambil ponselnya, bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju dapur. Mungkin secangkir kopi paling tidak akan membuatnya merasa lebih baik.

What would life be without coffee? Jinyoung ingat pernah membaca suatu essay tentang kopi, dan pertanyaan itu adalah kalimat pembukanya, yang ditanyakan oleh Raja Prancis, Louis XV. Bagi sebagian orang, kopi adalah hal yang ditunggu-tunggu setelah malam yang panjang tanpa tidur yang nyenyak. Sebagian besar yang lain beranggapan bahwa kopi memberikan sebuah ilusi tentang awal yang baru. Jinyoung masuk dalam golongan kedua. Ia somehow percaya, secangkir kopi di pagi hari akan membuat harinya menjadi lebih produktif, lebih fokus. Entah sebatas sugesti, atau minuman pekat itu benar-benar membantunya untuk melalui satu hari lagi.

Saking sukanya dengan kopi, Jinyoung bahkan mengoleksi buku-buku tentang kopi. Ada Coffee: A Global History, karya Jonathan Morris yang mengisahkan bagaimana industri kopi berkembang sejak tahun 1989 hingga detik ini, dilihat dari pertumbuhan coffee shop yang meningkat berpuluh-puluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Atau The Devil's Cup, buku yang ditulis oleh Stewart Lee Allen tentang perjalanannya dari Ethiopia hingga Turki demi mencicipi, mengulik sejarah, bahkan makna budaya kopi di berbagai negara. Tapi satu cerita yang paling menarik datang dari Augustine Sedgewick dalam salah satu literatur yang ditulisnya tentang sejarah kopi sekaligus politik, dimana seorang pria Inggris bernama James Hill memberlakukan perbudakan terhadap orang-orang El Salvador untuk menanam kopi dengan skala besar-besaran, yang berujung pada salah satu pemberontakan terbesar yang dilakukan para petani kala itu.

Mixtape of LoveWhere stories live. Discover now