20

26 5 0
                                    

***

Di, gue boleh ya cuti beberapa hari?

Boleh.

Makasih, Di.

Kabarin gue kalo lo butuh apa-apa.

Iya.

Jangan ngilang, Grey!

-

Klik.

Grey kembali mengunci layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Andi, sahabatnya.

Ia kembali memejamkan matanya, mencoba melupakan semuanya.

Sayangnya, luka yang ia terima terlalu dalam. Hingga ia tak mampu lagi menyembunyikannya.

Grey terus menangis, merasakan luka yang terus menusuk hatinya.

Ku kira, aku sudah baik-baik saja.

Ku kira, aku sudah bisa berdiri tanpamu.

Ku kira, aku sudah melupakanmu.

Nyatanya, semua itu hanya alasanku untuk menghibur diriku sendiri.

Aku masih belum terbiasa.

Aku masih tak rela.

Mengapa aku yang berjuang, tapi ia yang mendapatkan?

Mengapa aku yang kau janjikan, tapi ia yang dapat pembuktian?

Mengapa aku yang menangis, tapi ia yang bahagia.

Mengapa aku yang mempertaruhkan, tapi ia yang menikmati segalanya?

Mengapa bukan aku?

Aku, yang sudah menghabiskan banyak waktu untukmu..

Aku, yang selalu mengkhawatirkanmu..

Mengapa bukan aku?

Apa memang sejak awal, aku tidak pernah ada dalam hatimu?

Grey meringkuk, mencoba memeluk dirinya sendiri. Mencari ketenangan di antara rasa gelisah yang mengganggunya.

Pikirannya melayang jauh saat kenangan demi kenangan itu datang. Namun, bukan bahagia yang ia rasakan, justru kepedihan yang terus menghampirinya.

Seolah semua kenangan itu perlahan menghancurkan dirinya pelan-pelan.

Memang sulit untuk bertahan melawan rasa sakit yang terus menyiksa.

Tapi, ia juga sadar, tak ada yang bisa ia lakukan.

Lari dari kenyataan? Ia sudah mencoba untuk berlari sejauh yang ia bisa demi menghindari rasa sakit.

Nyatanya, yang ia temukan hanyalah jalan buntu.

Semakin ia terus berlari, rasa sakit itu kian nyata.

Menyerah, suka tidak suka, ia harus menghadapinya.

Meski setiap malam, ia harus berjuang melawan rasa yang terus menyiksanya.

Ia hanya mencoba untuk bertahan hidup.

It's me GreyWhere stories live. Discover now