19

21 4 1
                                    

***

Dengan mengenakan hoodie pilihan Biru, Grey tersipu saat laki-laki itu memandangnya dari sudut matanya. Jalanan malam itu nampak sepi, karena hujan. Keheningan di antara mereka diisi oleh suara hujan yang tak kunjung reda.

Grey sibuk mengatur rambutnya yang basah. Dan, Biru sibuk melajukan mobilnya dengan penuh kehati-hatian di tengah hujan yang lebat.

Tak ada pembicaraan di antara mereka, sampai Grey akhirnya memutuskan untuk buka suara.

"Makasih, Bi.."

Biru tersenyum dan menoleh sebentar ke arah Grey, sebelum ia kembali menatap jalanan.

"Buat?"


"Semuanya," jawab Grey dengan nada lirih.

"Iya, aku kan udah bilang mau ngelindungin kamu."

Ucapan Biru terdengar begitu tulus. Namun, di mata Grey, semua ucapan seperti itu hanyalah kata-kata semu yang pada akhirnya akan menyakitkannya.

Grey hanya tersenyum.

Ia kembali menatap hujan yang masih saja membasahi jalanan di malam hari itu.

"Kita makan dulu, ya?"

"Oke."

"Kamu mau makan apa?"

"Terserah."

Tipikal jawaban kebnyakan perempuan.

Biru mengangguk.

Baru saja ia akan membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan, Grey langsung bereaksi.

"Eh, jangan di sini, Bi. Tempat lain aja."

Biru dengan cepat langsung mengubah arah mobilnya.

"Kenapa?"

"Gak suka makanannya di sini."

"Yaudah, mau makan di mana?"

"Terserah."

Lagi.

Biru tertawa kecil.

Grey dapat melihat reaksi Biru atas jawabannya dari sudut matanya.

"Kok ketawa?"

"Lucu."

"Apanya?"

"Kamunya."

Sesaat, Grey mencoba mengatur napasnya untuk tenang. Entah bagaimana harus menjelaskannya, tapi, degub jantungnya berdetak sangat cepat saat ini.

Pipinya memerah.

Grey sedang malu.

"KFC aja, ya?"

"Gak, ah. Lebih suka mcD," jawab Grey sambil masih berusaha mengatur dirinya sendiri.

"Yaudah, kita ke mcD aja."

"Eh," lagi-lagi, Grey menahan laju mobil Biru secara tiba-tiba. "Di sini aja juga gak apa-apa, deh."

Biru tersenyum,"Oke."

Benar-benar Grey yang membingungkan. Juga menggemaskan dalam waktu bersamaan.

Akhirnya mereka memutuskan untuk makan di sebuah tempat makan cepat saji. Terlihat dari luar, banyak orang yang mampir untuk makan.

Biru dengan cepat membuka payung dan belari ke pintu mobil di mana Grey duduk. Ia membukakan pintu mobilnya dan menjaga Grey dengan hati-hati agar tidak terkena rintik hujan.

Mereka berlari menuju tempat makan.

"Kamu masuk duluan aja," ucap Biru kepada Grey saat ia masih sibuk untuk meletakkan payungnya.

Grey mengangguk dan melangkahkan kakinya untuk memesan makanan dan mencari tempat.

Cuacana malam itu begitu dingin. Ditambah AC tempat makan saat itu, menambah dingin suasana. Membuat Grey beberapa kali meniupkan tangannya untuk memberi kehangatan pada tubuhnya.

Saat matanya mengedar mencari tempat untuk duduk, tiba-tiba ia terpaku pada sebuah pemandangan yang membuat tubuhnya kaku saat itu juga.

Bintang bersama istri dan anaknya yang juga ada di tempat yang sama.

Sangat terlihat raut wajah Bintang yang begitu bahagia saat ia tengah bermain bersama anaknya. Tak lupa, sosok seorang istri yang menambah kecerian suasana di antara keluarga kecil itu.

Grey terdiam.

Tubuhnya mematung, lidahnya kelu, dan kakinya kaku.

Ingin rasanya ia segera berlari dari tempat itu, namun ia tak sanggup untuk pergi.

Jangankan berlari, untuk sekedar mengalihkan pandangannya saja, ia tak mampu.

Grey hanya mampu terus memandangi mereka dalam diam dan luka yang tiba-tiba menyeruak seolah berteriak ingin keluar.

Rasa bahagia yang baru saja ia rasakan beberapa menit lalu, runtuh seketika.

Berganti luka yang selalu ia rasa.

Perlahan, kakinya bergerak mundur.

Perlahan juga, airmatanya mulai turun.

Ia belum rela, ia belum ingin, dan ia masih belum sekuat itu untuk melihat Bintang bersama orang lain.

Saat Grey perlahan memundurkan langkahnya, tanpa ia sadari, langkahnya menabrak tubuh Biru yang sudah berdiri di belakangnya.

Grey terkejut.

Ia menoleh dengan mata yang dipenuhi airmatanya.

Biru memandangnya tepat di manik mata perempuan itu. Tangan Biru yang besar mengusap airmata yang membasahi pipinya.

Semakin airmata itu diusap, Grey semakin ingin menangis sejadinya.

Dengan cepat, Biru menarik tangan Grey untuk menjauh dari tempat itu.

Ia membuka kembali payung yang ia sandarkan di depan tempat makan.

Ia berlari sambil terus melindungi Grey.

Tanpa bertanya sepatah kata pun, Biru melajukan mobilnya meninggalkan tempat makan itu.

Membiarkan Grey tenggelam dalam isak tangisnya yang sendu.

Hujan malam ini seolah memang diperuntukan untuknya.

Untuk menemaninya merasakan luka yang tidak pernah pergi.

Biru menepikan mobilnya di pinggir jalan, dan membiarkan Grey masih dalam tangisannya.

Laki-laki itu hanya diam. Memandangi jalanan yang semakin sepi karena malam semakin larut.

Membiarkan suara tangisan Grey dan sang hujan saling bersautan.

Ia tidak bertanya.

Ia hanya melihat dan menunggu.

Menunggu saat Grey siap untuk menghadapi lukanya dan melepaskan semuanya.

Melihat perempuan yang ada di sampingnya menangis tersedu, Biru pun ikut bersedih. Hatinya merasa sakit. Bahkan, suara tangis Grey yang semakin kencang mampu membuat Biru menghela napas beratnya dan memejamkan matanya.

De javu.

Biru pernah merasakan hal yang sama.

Saat ia pertama kali mendengar Grey menangis. Tepat di sampingnya.

Hari itu... hari di mana Biru jatuh cinta pada Grey untuk pertama kalinya.

It's me GreyWhere stories live. Discover now