8

27 5 0
                                    

***

Grey dengan asyik mendesign ulang poster yang diminta oleh Biru. Sambil mendengarkan musik di kedua telinganya, ia tenggelam dalam pekerjaannya. Ia bahkan mengabaikan segala notifikasi yang masuk ke ponselnya.

Hari ini, ia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Tidak perduli seberapa perih perasaan perih itu datang berkali-kali menghampirinya.

Ia ingin melepaskan dengan perlahan.

Tak lama, pintu ruangannya berbunyi. Terdengar seseorang mengetuk pintunya.

Lalu, muncullah Andi dari balik pintu ruang kerjanya.

Kehadiran Andi membuat Grey menoleh.

"Kenapa?" Grey melepas headset yang terpasang pada kedua telinganya.

"Udah makan?"

Grey menggeleng.

"Makan, yuk. Ada yang mau gue omongin."

Tanpa banyak bicara, Grey hanya mengangguk dan mengikuti langkah Andi dari belakang.

Sesampainya di sebuah tempat makan, Grey duduk di kursi yang bersebrangan dengan Andi.

"Apa?" tanya Grey tidak bersemangat.

"Gimana kabar lo?"

Grey tertawa kecil,"Ngaco lo, ya, nanya kabar? Udah jelas-jelas sekantor dan tiap hari ketemu. Tapi, masih aja nanya kabar."

Andi tersenyum kecut.

"Langsung keintinya aja," celetuk Grey. "Apa yang mau lo omongin?"

Andi menelan ludah keringnya,"Gimana soal perasaan lo ke mantan lo itu?"

Grey terhenyak.

"Siapa?"

"Dia yang gak boleh disebut namanya itu."

Gantian, kini giliran Grey yang tersenyum kecut.

"Gak gimana-gimana," jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke ponsel.

"Lo masih ada perasaan ke dia?"

"Di, ini bukan soal gue ada perasaan atau nggak. Bukan soal gue udah move on atau belum. Ini soal luka."

Andi mengangguk.

"Akan selalu butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka, Di."

"Iya, gue paham."

Tak lama, makanan yang mereka pesan pun datang.

"Gimana kalo lo mulai buka hati lagi, Grey?"

Grey tersentak. Senyumnya melebar, tapi tersirat kesedihan di sana.

"Ada jaminan gak kalo gue buka hati lagi, gue gak akan dikhianati?"

Andi terdiam.

"Gue capek, Di. Harus ngulang semua dari awal, berjuang lagi, dan dikhianati lagi. Yang pada akhirnya, gue cuma bakal terluka lagi," jelas Grey.

"Tapi 'kan, lo belum coba."

Grey tersenyum ramah,"Gak perlu."

Dengan ragu-ragu, Andi menahan kalimat yang ingin ia ucapkan sejak awal kedatangannya.

Melihat ekspresi Grey yang seperti ini, rasanya ia ragu untuk mengatakannya.

"Bintang ngelamar kerja ke gue, dia bilang lagi butuh kerjaan banget, Grey."

Grey yang sedang menelan makanannya langsung tersedak seketika itu juga.

Andi sontak memberi Grey minum.

Perempuan itu langsung tercengang, melihat Andi dengan tatapan tidak percaya.

"Gue harus apa? Gue tolak aja?"

Grey diam. Ia meletakkan sendoknya ke piring yang ada di depannya.

Lalu, mengedarkan pandangannya ke arah luar jendela tempat mereka makan.

"Terima aja."

"Lo serius, Grey?"

Grey mengangguk.

"Dia butuh kerjaan buat menghidupi keluarganya dan anaknya, kan?"

Andi menatap Grey yang masih mengalihkan pandangannya, sangat jelas tersirat di sana, ketakutan yang luar biasa. Namun, Grey berusaha untuk menutupinya.

"Gue emang benci dia. Tapi, gue gak bisa benci anaknya. Kalo dia butuh kerjaan buat menghidupi anaknya, gue harus bertindak lebih manusiawi, kan? Gak mungkin gue ngebiarin anak itu hidup gak layak karena ulah kedua orang tuanya," jelas Grey sambil mengusap airmatanya.

Lalu, kembali mengalihkan pandangannya ke arah Andi yang masih menatapnya. Dan, Grey tersenyum.

"Gue gak apa-apa, kok," katanya.

Setelah nama Bintang disebut dan pembahasan berakhir, keduanya hanya saling terdiam sambil menghabiskan makanannya masing-masing.

Bintang adalah salah satu kata yang tidak ingin Grey dengar dalam hidupnya lagi. Tapi, mendengar nama Bintang kembali disebut, rasanya tidak mungkin untuk terus melarikan diri dari rasa sakit yang menimpanya. Mau tidak mau, ia harus menghadapi rasa sakit itu sendiri.

It's me GreyWhere stories live. Discover now