Reminder

19 2 0
                                    

Mengapa Harish harus mengangkat topik mengenai kedua orang tua Nirbita yang belum kunjung datang ke rumah sakit setelah terakhir kali datang hanya saat dirinya masuk ke sini? Entahlah, mereka sepertinya lebih senang menghabiskan waktu di depan komputer dan menandatangani banyak berkas yang entah isinya apa dibanding harus menjenguk dan mengurus anaknya yang sedang sakit dan hampir sekarat.

Uang. Apa dengan uang semua dapat terbeli dengan mudah termasuk kebahagiaan? Nyatanya tidak, hidup Nirbita terasa hampa meski kedua orang tuanya bisa dibilang adalah orang berada dan berkecukupan. Iya, berkecukupan harta, namun tidak dengan kasih sayang, sungguh miris.

Katsu yang sudah dipotong dengan sendok urung Nirbita makan. Dia menghela napas dalam-dalam dan hanya memandangi kotak makan milik Harish itu dengan sendu. Mendadak selera makannya lenyap tak bersisa. Ah, menyebalkan!

“Kenapa, Ta? Masakannya aneh? Ada yang kurang?” tanya Harish memastikan sebab Nirbita tiba-tiba berhenti melahap masakannya. “Atau kuah karinya kepedesan, ya? Maaf, tadi bubuk mericanya tumpah gara-gara tutupnya gak kenceng.”

Nirbita menggelengkan kepalanya. “Enggak, Rish. Ini enak, kok.”

“Terus, kenapa lo berhenti makan?”

Sebelum menimpali, Nirbita mengembus napas kasar. “Soal orang tua gue, Rish. Lo tau, terakhir mereka ke sini itu waktu tahu gue pingsan dan sakit. Mereka yang ngurus semua biaya pengobatan dan rumah sakit sampai gue sembuh. Bodoh, sih, bisa berharap mereka tinggal sebentar di sini.” Sadar jika Nirbita sudah mulai bercerita panjang lebar, gadis itu mendongak dan membulatkan bola matanya. “Ih, gue jadi cerita macem-macem gini.”

“Um ... kalau lo mau cerita, it’s fine. Gue bakal dengerin semuanya, kok, tapi kalau emang lo gak nyaman, ya udah, jangan dipaksain.”

Seumur hidup Nirbita, gadis itu tidak pernah memiliki teman dekat untuk berbagi permasalahan hidup yang dialaminya. Bahkan kedua orang tuanya. Nirbita cenderung suka memendam apa yang dia rasakan dan tidak mau berbagi rasa untuk mencari solusi. Bukan hal yang bagus sebenarnya karena kondisi psikologis seseorang adalah kunci utama dalam kehidupan.

Tetapi, Harish ... dia seperti benar-benar tulus ingin mendengarkan. Nirbita sendiri sampai heran, belum ada berbulan-bulan mereka kenal dan dipertemukan secara memalukan di sebuah kafe. Namun Harish sangat baik kepada Nirbita dan justru bertanggung jawab hingga sejauh ini. Malaikat? Mungkin lebih tepatnya laki-laki berhati malaikat.

Nirbita menggigit bibir bawahnya. “Gue benci sama orang tua gue, Rish. Mereka enggak pernah yang namanya dengerin gue atau sedikitpun peduli sama gue. Yang mereka pikir itu cuma uang, uang, uang, dikumpulin sampai di bawa ke akhirat kali. Lo tahu, Rish, gue milih ngekos dibanding antar jemput sama supir biar bisa jauh dari mereka dan ngelupain segala masalah yang pernah gue alamin. Kelam banget hidup gue sumpah.”

“Bokap, nyokap, enggak ada yang tau kalau gue ini sebenernya korban bullying waktu SMA. Gue udah berusaha bilang ke mereka buat minta bantuan, nyatanya, gue diacuhin, dibiarin dan mereka gak peduli sama apa yang gue rasa. Gila, gue di rumah udah bener-bener stres, Rish! Mau keluar aja rasanya dan akhirnya bisa kuliah di Undhar dan jauh dari mereka.”

Harish bisa saja membuka mulutnya lebar-lebar ketika mendengar apa yang baru saja dituturkan oleh Nirbita. Sungguh miris, ternyata broken home tidak selamanya dengan perceraian, apa yang dialami oleh Nirbita menurut Harish pun termasuk ke dalam rumah tangga yang hancur sebab kesibukan orang tua Nirbita hingga mengabaikan anaknya itu. Kasihan, pasti masih banyak Nirbita Nirbita lain di luar sana yang sebenarnya memang butuh bantuan.

Lelaki itu terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk merajut kalimat. “Berat emang buat ada di posisi lo, Ta. Orang tua emang seharusnya jadi tempat berlindung anak-anaknya dan tempat untuk mencurahkan kasih sayang. Tapi kadang ada yang egois sama anak mereka dan memilih buat menghidupi kehidupan mereka sendiri. Gue ... gak bermaksud buat jelek-jelekin mereka atau gimana, tapi ini buat lo, Ta. Di sini lo kurang beruntung dan harus bisa lepas dari itu semua. Dengan cara apa? Jadi orang yang baik dan beda dari mereka.”

Benar juga apa yang dikatakan Harish. Memang, Nirbita harus lepas dari mereka dan menjadi pribadi yang berbeda pula. Tidak bisa sama. Dia tersenyum lemah, menatap Harish dan mengucap terima kasih. “Oh, iya, bahkan temen-temen gue gak tahu kalau gue ini korban bully, lo orang pertama yang gue percaya buat dengerin cerita gue. Um, ngomong-ngomong, lo mau liat video awal gue waktu lagi stres gak?”

Nirbita meraih ponselnya dan menyalakan rekaman ketika dia sedang melakukan video tutorial membuat alis menggunakan sendok.

“Hai, Guys! Kali ini, gue lagi ada di Java the Hut!” Kamera diubah ke mode belakang. “Tuh, gila tempatnya enak banget, sih, parah.”

“Nah, sekarang, gue nge-live bukan cuma mau nunjukin ke kalian kalau gue lagi di sini. Gue juga mau sekalian ngasih tutorial make up gimana cara bikin alis yang sempurna buat tema make up gothic pakai ....” Nirbita mengeluarkan sebuah sendok. “.... Ini! Pakai sendok! Gimana caranya? Langsung aja kita bikin.”

“Caranya, tuh, gini, Guys. Kalian tempelin sendok ini ke mata, terus ambil pensil alis kalian, dan tinggal ikutin kontur alis kalian sesuai sama sendok ini.”

“Mata kiri selesai, Gengs. Liat, rapi, kan? Kalau kalian enggak ada cap alis kaya yang dipakai orang Tiongkok, atau cetakan biar rapi, kalian bisa banget pake sendok buat alternatif bikin alis. Hasilnya sama, kok.”

“Nah, sekarang gantian yang mata kanan, ya.”

“Ta, stop doing that thing, please!” bisik Sasi seraya menendang lutut Nirbita. Perempuan itu terkejut karena sejak tadi sedang fokus dengan layar ponsel dan tidak siap ketika Sasi dengan kencang menendang lututnya.

Nirbita berjengit, terantuk meja dan menggoyangkan isinya. “Ya ampun, Sasi.” Ia meletakkan ponsel, menatap Sasi dengan pandangan penuh tanya.

Tawa kencang berdengung di seluruh penjuru restoran. Kalila melotot, menutupi mulutnya yang menganga dengan tangan. Alisnya naik turun, memberi gestur pada Nirbita untuk segera menutupi wajahnya. “Bita, tutupin muka lo.” Mulutnya terbuka tanpa suara.

“Emang kenapa, sih?”
Saat ia kembali pada ponselnya, kolom komentar Nirbita dipenuhi oleh netizen yang menertawakan dirinya. Alangkah terkejut Nirbita ketika tahu bahwa alisnya berantakan dan meleset dari kontur, bukannya berbentuk, alis tersebut malah berubah menjadi seperti kecebong dengan bulatan di ujungnya.

Ketika video selesai, Harish menahan tawa ketika melihat ekspresi Nirbita yang terkejut dengan alis berantakan dan ditertawakan orang sekitar. Namun dia redam sebisa mungkin agar tidak menyinggung Nirbita. “Wow, lo kenapa punya ide aneh kek gitu, deh?”

“Gak tau, ya. Namanya juga orang lagi stres. Waktu itu, gue minta bokap buat jenguk ke kos tapi ditolak mentah-mentah karena dia mau ke Surabaya, padahal waktu itu gue butuh support dari dia soalnya gue juga lagi rada sakit. Ya udah, gue bawa keluar sama temen-temen dan ide gila itu muncul.”

Mereka berdua tertawa.
______________

AN ETERNAL HAPPINESS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang