Darkness

17 1 0
                                    

“Komunikasi lintas budaya adalah sebuah studi bidang yang mempelajari tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan manusia yang berbeda kebudayaan. Kajian komunikasi lintas budaya biasanya membahas tentang manusia dan cara berkomunikasi dengan menyesuaikan kebudayaan lawan bicara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.”

Dengan layar proyektor yang sudah tua dan menunjukkan layar miring, Bu Mirna tetap mengajari mahasiswanya materi yang sempat tertinggal dalam bentuk slide presentasi. Jika saja dosen itu tidak sering keluar dan menyelesaikan kewajibannya untuk fakultas, pasti sekarang sudah masuk pertemuan keempat dan membahas materi baru.

Sayangnya Bu Mirna tidak bisa seperti itu dan harus mengulang materi dari awal agar seluruh mahasiswanya paham. Hampir seluruh mahasiswa angkatan 2018 yang mengikuti perkuliahan tersebut berdecak, menguap, atau bermain ponsel dan tidak memerhatikan apa yang tersaji di depan.

Bu Mirna masih saja terus mengoceh di depan kelas sembari menerangkan materi yang masih tertinggal jauh. Padahal perempuan paruh baya tersebut tahu jika beberapa mahasiswanya sedang tidak konsen, tetapi materi tetap saja berlanjut.

Di tempat duduk, Nirbita mendesah pelan karena waktu yang berjalan amat lambat. Dia sebenarnya butuh materi dari Bu Mirna, namun sebagian dari dirinya merasa sebal ketika melihat wajah dosen yang sering absen dari kelas. Tangannya terus menulis dan merangkum materi ke dalam binder sebagai bahan catatan dan belajar untuk ulangan tengah semester nanti.

Dia berhenti, mendongak dan teringat sesuatu. “Oh, iya!” Nirbita berseru sembari mengeluarkan sebuah botol kecil dan air mineral. Mengambil sebuah kapsul dari dalam botol tersebut dan menenggaknya dengan air mineral hingga tandas.

Kalila yang sedang duduk diam dan mencatat menoleh ketika tahu Nirbita sedang meminum sesuatu dengan air mineral hingga satu botol habis. “Ta, lo minum apaan?” tanya Kalila penasaran seraya memajukan tangan hendak meraih botol kecil dari tangan Nirbita.

Buru-buru gadis itu menarik botol berisi kapsul pelangsingnya dan menaruhnya kembali ke dalam tas agar tidak dilihat oleh Kalila. “B-bukan apa-apa,” cetus Nirbita sembari berdeham dan kembali fokus mencatat materi.

Ada sesuatu yang aneh dari Nirbita semenjak kejadian di kafe itu. Kalila paham dan mengerti betul jika sahabatnya itu seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Dia tidak tahu pasti apa yang ditelan oleh Nirbita, tetapi asumsi liarnya mengatakan bahwa botol kecil itu berisi kapsul obat-obatan aneh yang tidak jelas.

Mata Kalila menyipit, menatap Nirbita penuh tanya. “Jangan-jangan lo minum obat diet, ya, Ta?” selidik Kalila tiba-tiba.

“E-enggak! Kok, lo ngomong gitu?”

“Perasaan gue aja, sih. Habis lo kaya nyembunyiin sesuatu gitu. Terus seinget gue, lo enggak punya penyakit kronis yang butuh obat diminum harus sesuai dengan jam khusus.”

“B-bukan, ah!”

Nirbita ini sudah jelas-jelas tidak pandai berbohong. Kalila tahu Nirbita denial dan tidak mengakui perbuatannya yang justru semakin membuat Kalila yakin atas tuduhannya itu. Namun, Kalila diam saja dan pura-pura mengiyakan apa yang dikatakan oleh Nirbita. Toh, suatu saat nanti, perempuan itu akan bercerita sendiri tentang kebenaran yang disembunyikan.

Mereka berdua kembali hening dan terpaku pada layar proyektor yang masih menyala. Mencatat kembali materi-materi yang penting dan nantinya akan keluar di UTS. Ketika Bu Mirna selesai menerangkan, Nirbita memejamkan mata dan seperti ada kunang-kunang yang mengerubung.

“Ta, lo kenapa, sih?” tanya Kalila saat Nirbita terus memegangi kepalanya. “Pusing mikir apa lo? Danus?”

Kepala Nirbita menggeleng. “Bukan. Gak tau kenapa tiba-tiba pusing.” Bu Mirna meninggalkan kelas dan waktu kuliah telah habis. Mahasiswa ada yang sudah keluar dan ada yang berkumpul di ruang kelas untuk berdiskusi masalah kerja kelompok. Nirbita berdiri meski kepalanya berputar menuju ke kelompok Kritik Medianya.

Teman-teman Nirbita yang lain terkejut ketika Nirbita berjalan sempoyongan dan menabrak deretan bangku kelas. Sasi yang kebetulan satu kelompok dengan Nirbita mengamati dengan saksama keanehan dari temannya itu. Meski mereka sedang dalam hubungan yang tidak akur, namun kelembutan Sasi yang melebihi Kalila atau Nirbita sendiri tidak bisa dielakkan.

“Anjir, Ta. Lo habis mabok amer?” celetuk Andri, lelaki dengan kaos putih dan kemeja flanel merah sebagai outer. “Sempoyongan gitu buset.”

“Jangan ngawur, deh, lo, Ndri!” gertak Kalila sambil memegangi tubuh Nirbita yang lunglai.

“Ih, sumpah. Buruan ke klinik kampus sana!” pekik Yolanda.

Nirbita mengangkat tangannya. “Enggak pa-pa. Gue masih oke, kok. Cuma kelaperan aja kayanya.”

“Emangnya lo belum makan?” tanya Andri.

Dengan lemas Nirbita menggeleng. Sasi mendelik dan langsung berkata, “Ih, parah banget lo sumpah! Ya udah kita ngerjain di kafe aja sekalian makan. Nih anak nanti bisa-bisa gak makan sampe malem kalau gak dipaksa.”

“Ke GraffiTea aja, Sas. Kemarin Nirbita ada gratisan sama orang dalem,” ucap Kalila menahan tawa, tetapi segera sadar ketika melihat Nirbita yang semakin lemas. “Bawa ke sana aja. Deket dari FISIP. Kantin pasti lagi rame. Gue titip Nirbita, ya, Sas, masih ada keperluan sama Bapendik gue.” Semua mengangguk setuju dan langsung pergi ke kafe GraffiTea.

***

Kafe GraffiTea siang ini tampak tidak begitu ramai. Padahal di jam makan siang seperti ini biasanya banyak orang-orang yang duduk di dalam sembari berbincang kecil. Kelompok Kritik Media Nirbita memilih duduk di bangku kotak untuk empat orang. Jika kembali ke tempat ini, Nirbita jadi teringat video siaran langsungnya yang viral. Astaga!

Jika bukan karena gratisan dari perjanjian dengan Harish waktu itu, Nirbita pasti menolak karena malu. Tidak masalah selama itu gratisan. Seorang pelayan datang menghampiri dan bertanya pesanan yang diinginkan masing-masing. Semua memesan makan siang, kecuali Nirbita yang pesan jus alpukat.

“Batu banget sumpah lo, Ta. Makan!” paksa Sasi agar Nirbita memesan makanan.

“Lo aja, Sas. Gue minum alpukat aja udah kenyang, kok.”

Metabolisme tubuh Nirbita seolah berubah semenjak mengonsumsi pil-pil pelangsing tersebut. Dia jadi tidak mudah lapar, namun sering haus dan buang air kecil. Dia sendiri tidak tahu dan bahkan tidak masalah sebab itu hanya obat herbal dan yang terpenting dia sudah mendapat tubuh yang ideal.

Nirbita menolak paksaan Sasi sebab jika dia makan pasti tidak akan habis dan sudah terlanjur kenyang. Nirbita sudah tidak seperti dulu kala yang makan bisa kalap hingga dua porsi. Sasi menyerah dan memulai diskusi tentang materi yang akan dipresentasikan di Kritik Media pertemuan minggu depan.

Mereka berdiskusi cukup solid sembari mencari referensi jurnal untuk dimasukkan ke dalam makalah. Sayangnya Nirbita tidak begitu fokus mendengarkan sebab matanya kini seolah berputar dan meninjunya ribuan kali hingga lemas. Kepalanya terus menahan beban yang meronta dan amat menyakitkan.

Sedetik kemudian, Nirbita limbung ke samping dan membuat teman-temannya panik. Kegelapan, keheningan, kesunyian langsung merambat di tubuh Nirbita.

__________

AN ETERNAL HAPPINESS ✔Where stories live. Discover now