Blossoming Like Sakura

10 0 0
                                    

“Eh, Ta. Cogan yang waktu itu nolongin lo belum ke sini?” tanya Kalila antusias.

“Cogan yang mana anjir. Mana ada cogan.”

Sasi tertawa pelan. “Ya elah, barista yang katanya anak FIKes itu, lho. Siapa, sih, namanya? Harsa?”

“Woi, Harsa mah pacarnya Kalila yang posesif,” jawab Nirbita yang langsung disambut tawa meledak dari Sasi, namun tidak dengan Kalila yang cemberut.

“Ih, apaan, sih.” Kalila memutar bola mata malas. “Harish? Iya, kan? Harish?”

Harish? Cogan? Sepertinya lebih layak disebut laki-laki mesum. “Harish, bener. Enggak tau, mungkin siang.”

“Ciye, sekarang udah ada pangeran yang rajin rawat Nirbita, nih?” ledek Kalila yang langsung disentil oleh Nirbita.

“Apaan, sih? Orang dia, tuh, tanggung jawab gara-gara udah bikin latte gue jadi gambar porno. Tanya si Sasi, waktu itu dia ada di TKP. Videonya juga udah nyebar di Instagram waktu gue mencak-mencak, kalau lo belum tau, asli norak.”

Tawa renyah Sasi mereda. “Tapi, Harish kayanya emang cowok baik-baik, deh, Ta. Gambar latte emang kebanyakan kaya gitu, bunga, tapi hampir mirip colokan cewek.”

“Sasi! Astaga! Mulut lo emang, ya!” Nirbita menggeleng. Beberapa kali bertemu dengan Harish, Nirbita memang merasa jika laki-laki itu memang tidak semesum yang dia kira. Entahlah, mungkin saja apa yang dikatakan Sasi ada benarnya juga.

“Ngomong-ngomong soal barista ganteng, tuh, lagi OTW jalan ke sini,” celetuk Kalila seraya memainkan kedua alisnya.

Harish berjalan dengan langkah tegak yang panjang dan seolah tidak menapak dengan dataran sebab gaya berjalan yang cepat. Di tangan kanannya, dia menenteng sebuah wadah bekal dari plastik berwarna biru muda dan botol minum ukuran dua liter dengan warna senada. Ah, bisa dibilang, lelaki itu memang menyukai warna biru dan hampir sebagian besar benda yang ada di kontrakannya pun memiliki warna dasar sama.

Di halaman rumah sakit Sentra Medica yang cukup padat, Harish membelah kerumunan agar segera sampai di kamar tempat Nirbita dirawat. Sebagai seorang mahasiswa jurusan Ilmu Gizi, Harish merasa jiwanya terpanggil untuk membantu gadis itu memperbaiki gizi miliknya yang rusak dan tidak tertata rapi akibat pola makan dan hidup sehat yang berantakan.

Didiagnosis mengidap penyakit anoreksia adalah mimpi buruk bagi siapa saja termasuk Harish yang notabene sering mempelajari tentang penyakit yang berhubungan dengan gizi dan metabolisme tubuh manusia. Ini bukan kali pertama Harish melihat seorang pasien yang mengidap penyakit dengan gangguan metabolisme tubuh, hanya saja, Nirbita adalah orang dengan anoreksia pertama yang baru pernah Harish lihat dengan mata kepalanya langsung.

Sebab langkah yang dinamis dan tempo cepat, Harish tidak melihat kerumunan perempuan yang juga sedang berjalan ke arahnya. Bahkan dia tidak sadar dan akan menabrak mereka jika suara perempuan dengan intonasi melengking memanggil namanya. Dia membulatkan mata, mengatur ritme napas kemudian menyunggingkan senyum kepada tiga perempuan di depan. Salah satunya ada Nirbita yang duduk di kursi roda.

Harish memiringkan kepalanya dan mengamati perubahan raut wajah Nirbita yang terlihat lebih segar. Tidak terlalu pucat, tetapi segar dan sedikit berisi. Tulang pipinya masih mencuat, meski tidak ekstrem. Rambutnya yang panjang dan dicat bergradasi cokelat hitam terurai lurus, rapi dan tersisir. Lelaki itu dapat menyimpulkan jika kondisi Nirbita sekarang perlahan pulih.

“Eh, ada Harish,” ucap Kalila dengan nada menggoda. Alis matanya naik turun hiperbolis seraya melempar pandang ke arah Sasi yang menutup mulut menahan kikikan tawa. “Mau ketemu Nirbita, kan? Bawain makanan mulu, nih, enak banget.”

Di samping Kalila, Sasi melipat kedua tangannya dan menimpali, “Iya, nih. Makanan rumah sakit emang enggak enak, beruntung banget si Bita dimasakin terus sama barista cakep.”

Dasar tidak punya akhlak kedua kawannya ini. Nirbita menahan semu merah yang meriasi pipinya, giginya bergemeletuk sembari menoleh ke belakang dan memberi tatapan sinis. Kemudian dia menoleh kembali pada Harish dan mengulas senyum masam.

Harish sendiri hanya terpingkal mendengar celotehan teman karib Nirbita itu. “Kalian ngomong apa, sih. Oh, iya, Ta, ini gue masakin lagi makanan yang sesuai sama nilai gizi lo sekarang, biar ada pemulihan dan makin stabil,” jelas Harish cepat-cepat mengalihkan topik obrolan.

“M-makasih, Rish. Um ... ya udah sekarang balik ke kamar aja, yuk. Lo bisa ngomong dulu ke resepsionis buat izin jenguk,” ucap Nirbita seraya meminta Kalila dan Sasi membawanya kembali ke kamar.

Sebenarnya, makanan yang dibawa oleh Kalila dan Sasi tadi sudah cukup banyak. Bahkan, Nirbita pun juga masih menyimpan beberapa dari teman-temannya yang menjenguk. Biasanya, Nirbita yang sering memberi makanan kepada teman-teman kelasnya atau relasi ketika mereka sakit, sekarang justru dia yang kebingungan bagaimana cara menghabiskan makanan sebanyak itu?

Jujur, dia lebih suka menikmati masakan yang dibuat oleh Harish dibanding harus menghabiskan makanan yang diberikan oleh teman-temannya. Entah karena apa, yang jelas masakan Harish terasa lebih sedap dilihat meski sebenarnya bahan dasar dari makanan itu hampir sama dengan makanan rumah sakit. Apa rahasia di balik itu sebenarnya selain karena Harish pandai memasak?

“Gue sama Kalila balik dulu ya, Ta. Mau ngerjain laporan kemarin,” celetuk Sasi ketika mereka berempat telah sampai di depan pintu kamar Nirbita.

“Iya, udah ada Harish juga, kita tingggal ya, Ta.”

Sontak Nirbita membulatkan kedua bola matanya. “Ih, kok gitu, sih?”

“Lah, kita ada tugas, Neng! Masa mau nungguin Cinderbellek mulu?” celoteh Sasi kembali kemudian mengucap selamat tinggal dan langsung melenggang pergi meninggalkan Nirbita dan Harish.

Kalila meringis. “Gue nyusul Sasi, ya. Nanti ke sini lagi, kok, beneran sumpah tugas laporan kemarin, Ta. Lo ketinggalan banyak, nanti kek biasa, lah, gue salinin materi.”

Tidak bisa berbuat apa-apa, Nirbita hanya menghela napas kesal. Suasana berubah hening. Bunyi pengatur udara terdengar nyaring dan memecah suasana di antara mereka berdua. Harish berdeham kemudian membuka kotak makan yang dibawanya. “Oh, iya sampe lupa. Nih, lo makan dulu, Ta. Keburu dingin.”

Ketika kotak makan itu terbuka, aroma wangi yang mengacak perut langsung menyeruak ke hidung Nirbita. Mata perempuan itu berbinar ketika melihat nasi kare tradisional Jepang dengan ayam katsu yang dipotong secara menyerong. Astaga, bagaimana bisa seorang mahasiswa yang tinggal merantau seperti Harish bisa memasak makanan seperti ini? Sekelas restoran.

Tanpa basa-basi, Nirbita langsung menghajar makanan tersebut dan mengunyahnya lamat-lamat. Merasakan sensasi pedas dari bubuk cabe yang tidak begitu menyengat, bubuk merica putih, dan saus kental kare yang lumer di mulut. Tuhan, ini seperti surga. Nirbita lebih menyukai makanan ini dibanding menghabiskan makanan dari teman-temannya. Mungkin, beberapa akan dia berikan ke kawan-kawannya yang lain.

“Eh, Ta. Orang tua lo belum dateng?” tanya Harish, yang langsung membuat Nirbita berubah masam.

Nirbita benci.
____

AN ETERNAL HAPPINESS ✔Where stories live. Discover now