chapter 15 : berusaha bangkit

241 21 1
                                    

Sejak Kala mengatakan pada Dikta tentang keputusannya membuat kekasihnya itu kecewa. Ia sendiri pun tidak akan pernah mau mengatakan yang semestinya tidak ia lakukan.

Sudah seminggu belakangan ini Dikta menghindar dari Kala. Walaupun begitu, Kala masih memperhatikan Dikta yang sedang marah. Ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Pasti sudah menyakiti perasaan Dikta. Seperti saat ini, ia sedang berada diparkiran motor. Untuk menunggu Dikta. Ia sangat yakin kalau ini jalan satu satunya untuk menemui Dikta.

Tak lama kemudian, pandangannya berhenti pada laki-laki bertubuh jangkung dihadapannya. Ia mendongak, melihat seseorang yang sedang menatapnya dengan intens. "Pergi!" Usir Dikta.

Kala memejamkan matanya sebentar lalu ia membukanya kembali. "Aku gak akan pergi. Sebelum kamu bilang kenapa seminggu belakangan ini gak ada kabar?"

Dahi Dikta mengerut dengan alis yang terangkat satu. "Bukannya kamu yang suruh aku buat ngejauh dari kamu? Aku udah tahu alasan kamu untuk menjauh dariku, ini semua pasti permintaan mamiku kan?! Kenapa diam? Berarti bener kan?!" Dikta mengguncang bahu Kala dengan kasar. Nafasnya tidak beraturan. "Gak penting tentang itu semua. Jangan mengalihkan pembicaraanku."

"Kamu juga gak jawab pertanyaanku. Untuk apa aku jawab. Lagipula gak penting bagi kamu tentang kabarku belakangan ini. Kamu puas kan? Aku turutin permintaan kamu untuk menjauh. Aku gak mau ketemu sama kamu." Seharusnya ucapan itu tidak terucap dari bibir sang kekasih. Ia berusaha menahan sakit yang membuatnya merasa sesak. "Tapi aku mau ketemu sama kamu, Dik."

"Jangan egois, Kal. Disini kita sama-sama saling mencintai. Seharusnya kamu mau mendukung aku untuk merubah sikap mami dan papiku agar mengubah keputusannya itu. Tapi apa? Kamu malah nyerah begitu aja, tanpa mau berusaha bersamaku." Dikta melepas cengkramannya dari bahu Kala. Gadis itu hanya diam. Suasana parkir sudah sepi, Kala sangat beruntung.

"Kamu bilang kalau aku egois? Kamu gak mikir sebelum berucap seperti itu? Kamu pikir aku menjauh darimu tidak membuat hatiku hancur? Sangat hancur, Dik. Tapi aku berusaha untuk menutupinya. Seandainya keadaan gak selalu memaksa kita untuk berpisah, aku gak akan minta sama kamu untuk putus. Lagipula siapa sih yang mau dihina mengenai keluarganya? Gak akan ada yang mau. Begitu pun dengan aku, aku sadar kalau aku sama kamu itu emang gak pernah bisa bersama. Kehidupan kita berbeda."

Laki-laki itu menyisir rambutnya dengan bantuan jari tangannya. Kepalanya terasa sakit sekali, semalaman ia tidak pulang kerumah, ia lebih memilih untuk nginap dirumah Fikri-sahabat dekat Dikta. "Kamu mau nyerah gitu aja? Ayo kita buktikan kalau kita itu bisa bersama tanpa melihat materi. Aku yakin, dengan begitu cepat atau lambat semua akan kembali berbeda. Pemikiran kedua orang tuaku akan terbuka. Kamu mau berusaha untuk meyakinkannya bersamaku?"

Dikta memeluk tubuh Kala dengan sangat erat. Ia menyingkirkan rasa gengsinya. Matanya mulai memanas. Perlahan gadis itu menganggukan kepalanya dan Dikta dapat merasakan pergerakan dari Kala. "Iya aku mau."

******

Kala menghampiri ibunya yang sedang mengambil piring untuk dibawa ke meja makan. Malam ini, mereka berdua makan bersama. Jarang-jarang mereka bisa makan bersama seperti malam ini.

Wanita paruh baya itu mengambilkan nasi beserta lauknya untuk anak satu satunya. "Makan yang banyak ya, nak."

"Makasih bu, padahal aku bisa ambil sendiri nasi dan lauknya." Ibunya hanya tersenyum. Ada kebahagian tersendiri saat tahu sikap anaknya yang begitu dewasa. "Gak papa, nak. Gimana sama sekolahmu? Baik-baik aja kan?"

Kala mengangguk meski pandangannya terfokus pada makanan dipiringnya. "Baik-baik aja bu," terdengar helaan nafas lega. "Bagaimana kabar nak Dikta?"

Gadis itu langsung berhenti mengunyah saat ibunya menanyakan kekasihnya. Ia sendiri juga bingung. Sebenarnya ia belum sama sekali cerita tentang maminya Dikta yang menyuruh dirinya untuk menjauhi anaknya. Ia takut kondisi ibunya yang semakin menurun. Tapi ia juga tidak bisa menutupi ini semua dari ibunya. "Ibu..." ucap Kala yang menggantung.

"Iya nak?" Gadis itu menunduk. Mencoba untuk mengumpulkan keberanian untuk berbicara yang sejujurnya.

"Ibu tahu kamu lagi menutupi sesuatu kan?" Tebak Ibu Kala.

"Maafin kala ya, Bu. Kala gak bermaksud untuk menyembunyikannya, Kala sayang sama ibu, makanya Kala gak mau lihat kondisi ibu yang menurun. Aku bingung bu," perlahan gadis itu duduk dibawah lantai dengan ibunya yang masih berada dikursi. Kepalanya ia taruh diatas paha ibunya sebagai bantal. "Kalau kamu tidak mau cerita gak papa, mungkin nanti kalau kamu sudah siap."

"Waktu itu maminya Dikta minta aku buat jauhin anaknya. Mereka gak suka berhubungan sama anak orang miskin seperti diriku. Aku udah menuruti permintaan orang tuanya untuk menjauhi Dikta dalam beberapa hari, tapi gak lama dari kejadian itu Dikta benar-benar menjauhi diriku dan sudah mengetahui yang sesungguhnya kalau aku memang disuruh maminya untuk menjauhkan dirinya. Dikta kecewa banget bu, kala juga merasa bersalah banget sama dia. Dia baik banget sama kala, dan aku juga cinta sama dikta, Bu. Jadi kala harus bagaimana bu?" Lirih Kala.

Ibu mana yang mau lihat kondisi anaknya yang begitu menyedihkan. Saat ini ia mendengar cerita anaknya yang begitu malang. Hati ibunya mencelos begitu saja, yang bisa ia lakukan hanya bisa berdoa agar anaknya diberi kebahagiaan dalam hidupnya. "Ibu percaya kalau kamu bisa memilih jawaban yang tepat. Yang terpenting, kamu harus menyikapinya dengan bijak, dengan kepala dingin dan pemikiran yang dewasa. Anak ibu yang satu ini kan pasti bisa melewati rintangan kehidupan. Kamu jangan takut, ada ibu disisimu, ibu akan membela dan melindunginmu, meski nyawa yang jadi taruhannya! Ibu sayang sama Kala."

Gadis itu memeluk pinggang ibunya dengan erat. Memori tentang ayahnya kembali berputar didalam benaknya. Senyuman itu yang sedang ia rindukan. Impian ia hanya terfokus pada ibunya. Satu-satunya orang tua yang selalu mendukung, melindungi, dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Wanita paruh baya itu sudah tidak muda lagi, usianya juga sudah menginjak empat puluh dua tahun. Tak jarang kondisi ibunya sering menurun, itu yang membuat Kala khawatir apabila meninggalkan ibu dirumah sendirian. "Kala juga sangat menyayangi ibu."

Ibu Kala menatap anaknya. Matanya sudah sembab, ia yang melihatnya pun menjadi pilu. "Wajah ini harus selalu senyum! Gak boleh ada kesedihan diwajah cantik anak ibu yang satu ini." Perlahan senyum itu muncul diwajah Kala. Meski sulit, ia melakukannya demi ibu tercinta.

******

Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment !

Happy reading♡

Langit & Bintang [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant