17. Regrets (1)

29 5 12
                                    

Rumah Sakit ...

Renata terduduk di sofa di salah satu sudut ruang tempat Mirshal dirawat. Ia masih memegang kepalanya yang masih pening, rambut yang digerai, ia biarkan kusut. Bercak darah masih tercetak di kemeja putihnya. Di ruangan bernuansa putih dengan aksen hijau itu hanya ada suara ... dari yang terdengar. Kedua orang yang berdiri di samping Mirshal masih bergeming. Salah satunya mencondongkan bahu, kedua tangannya mencengkeram tepian ranjang.

Kholili berdecak lalu menggeram, ia kesal dengan dirinya sendiri. "Kenapa kita bisa terlambat."

"Mirshal telah selesai menjalankan operasinya Pak, yang kita lakukan sekarang hanya tinggal menunggunya pulih." Chairul mencoba menenangkan. Chairul mengetahui ini adalah kesalahan yang seharusnya bisa diantisipasi.

Chairul berpaling kepada Renata, mendekati. "Ren, istirahatlah," tegur Chairul lirih, intonasinya seolah desiran angin lembut. Namun, Renata enggan beranjak dan hanya menggelengkan kepalanya.

"Kami yang akan menjaga Mirshal, jika kau tak istirahat maka kau sakit, jika begitu ... kita tak bisa mencari posisi Raihan berada." Beberapa detik tak ada respons hingga Renata menganggukan kepalanya dan mulai beranjak mengikuti kedua orang yang menggiringnya ke arah pintu kamar inap Mirshal.

Sebelum melintasi pintu yang sudah terbuka oleh Kholili yang keluar lebih dulu, Renata menoleh ke arah Mirshal, tubuh itu masih terbaring dengan embusan napas yang sayup-sayup kini. Renata yang tak kuat membendung air matanya segera memalingkan wajah, ia kontan menutup hidungnya kian menitikkan air mata sambil melintasi pintu.

./-././.-./ --./..

Di suatu lokasi ...

Seseorang sama terbaring di ranjang.

"Kita biarkan dia istirahat." Orang asing berpakaian necis yang berdiri di depan pemuda yang sedang terbaring itu membuka kacamata hitamnya.

"Wajahnya ... " Ia berhenti sejenak menentukan kata apa yang pas, "indah," ungkapnya.

"Tuan ingin bertemu dengannya, pastikan dia dirawat dengan baik," sambung orang berpakaian necis itu.

"Baik, Ketua." Kedua orang yang sedari tadi sudah berdiri di belakang orang berpakaian necis dan memerhatian gerak-geriknya, seketika menjawab dengan serempak.

"Sebentar lagi perawat dari tuan akan merawat lukanya. Kita tunggu di sini sampai perawat itu datang." Kedua orang yang dipercaya untuk menjaga laki-laki yang tengah terbaring menjawab dengan perkataan yang sebelumnya dilontarkan keduanya dengan menganggukan kepala. Paham.

./-././.-./ --./..

Raihan tengah berada di suatu ruangan, di kelilingi oleh kekosongan, nyenyat, hening. Ia berdiri sedikit memutar pandangannya dengan ragu. Ia merasa sangat asing dengan tempat itu.

"Rai ...." Suara itu menggugah Raihan dari lamunan. Suara yang halus, sehalus desiran angin yang menyelisik. Lembut menyelusup masuk ke lubang daun telinga. Raihan perlahan mengarahkan pandangannya ke sumber suara.

"Rai ... Anakku," kata yang keluar dari sosok dengan bibir tipis berwarna pucat kulit yang saat itu membentuk lengkung bulan sabit khas yang sudah lama tak dilihat Raihan. Tubuhnya berbalut gaun putih setengah betis. Saat itu juga Raihan dapat melihat jelas wajah orang yang tersenyum di depannya. Seorang perempuan yang sudah lama hilang dari pandangannya. Seseorang yang hanya satu-satunya yang ia punya dalam hidupnya. Ibunya.

Perempuan itu masih tersenyum, pandangannya masih tertuju pada Raihan. Raihan pun tak mampu beranjak dari tempatnya. Akhirnya, perempuan itu memberi isyarat pada anak semata wayangnya dengan membentangkan tangannya dan sedikit mengangguk. Raihan tertarik untuk segera melangkah mendekati sosok itu. Setelah jarak tertebas Raihan jatuh ke pelukan perempuan itu. Perempuan itu mengusap rambut Raihan.

E.N.E.R.G.Y  [ON GOING]Where stories live. Discover now