18. Hampa

402 30 140
                                    

Assalamualaikum, sorry lama, saya sering banget terdistraksi😅

Part ini penuh depresi, siapin mental, dan siapin tisu buat jaga-jaga!

Eniwey, jan lupa videonya yow, selamat membaca^^

###

Shiyeon menunduk untuk meredam tangisnya. Perut bagian bawahnya masih perih dan sakit akibat keguguran yang ia alami. Anaknya yang malang. Kenapa tidak sekalian saja ia ikut meninggal?

Memikirkan kehilangannya sungguh membuat Shiyeon depresi. Baru kali ini ia paham mengapa ayahnya berusaha keras membuatnya bahagia. Anak adalah satu-satunya yang dicintainya tanpa syarat, yang akan diberikannya seluruh hatinya tanpa ia mintai balasan.

Menurut dokter kandungan yang datang memeriksanya, jika dihitung dari menstruasinya yang terakhir, usia kandungannya sekitar hampir empat minggu. Ia ingat terakhir kali ia menstruasi adalah satu minggu sebelum keberangkatan mereka ke penginapan milik Kakek Go, lalu mereka tinggal di penginapan selama tiga minggu kemudian. Pantas saja Shiyeon merasa agak lemas di hari-hari terakhir mereka berada di sana. Dan menurut dokter itu pula, harusnya kandungannya tidak apa-apa sekalipun terjadi kecelakaan, sebab janinnya masih sangat kecil dan ketebalan dinding rahimnya sangat baik. Tetapi saat kecelakaan itu, rahimnya mendapat benturan cukup keras dari kemudi, membuatnya pendarahan dan merenggut janinnya.

Ia tidak menyalahkan Eunyool untuk itu, sungguh. Shiyeon dengan sukarela menyerahkan hidupnya untuk pria itu, dan justru calon anak mereka yang pergi. Itu sepenuhnya adalah salahnya, sebab tidak berhati-hati dalam bertindak. Alasannya meminta bercerai adalah sesuatu yang jauh lebih dalam lagi.

Ia ingin terbebas dari perasaan cinta konyol itu sendiri, yang membuatnya bertindak tanpa pikir panjang, yang membuatnya egois dengan bersikeras hidup bersama pria yang tidak mencintainya, yang membuatnya begitu bodoh menerima semua perlakuan buruk pria itu padanya. Kehilangan anaknya membuka matanya akan hal itu.

Shiyeon tahu, di masa lalu, mereka juga memiliki takdir yang hampir sama. Dan di detik-detik kematiannya, Park Soondeok berharap agar ia bisa bertemu dengan Wang Eun lagi di kehidupan selanjutnya. Mencintainya, menikah dengannya, bahkan mengorbankan nyawa lagi untuknya. Shiyeon sungguh menyesali permohonan itu.

Ia tidak menyesal dengan semua yang terjadi di masa lalu. Bagaimana Wang Eun mengabaikannya, memarahinya, dan bersikap buruk padanya tidak membuatnya menyesal mengorbankan hidup untuk suaminya tersebut. Ia bahagia dan itu sudah cukup. Tetapi harusnya sampai di situ saja. Harusnya Soondeok memohon agar takdir mereka dijauhkan, agar ia tidak kembali mencintai dan mengorbankan diri untuk pria itu. Karena ketika Shiyeon di masa sekarang mengetahui masa lalu mereka, ia sadar bahwa tindakannya sangat bodoh.

Bahkan keledai pun tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama.

Jika ia tidak bertemu dengan Eunyool, Shiyeon tidak akan jatuh cinta padanya. Jika cintanya tidak sedalam itu, maka ia akan mencari laki-laki lain yang mau mencintainya dengan sepenuh hati. Jika salah satu dari mereka tidak bereinkarnasi, maka semua ini tidak akan terjadi.

Shiyeon meremas bajunya di bagian dada, sakit sekali rasanya menerima kenyataan laki-laki yang ia cintai seumur hidupnya mencintai wanita lain. Selama ini ia tidak pernah mau mengakui, tetapi dari lubuk hatinya, ia tidak pernah yakin kata cinta yang Eunyool ucapkan benar-benar tulus. Bahkan sebagai Pangeran Kesepuluh Wang Eun di masa lalu pun demikian. Pria itu hanya terbawa suasana, dan mungkin juga kasihan pada cinta tak terbalasnya.

Memikirkan betapa bodoh dan naif dirinya membuat Shiyeon mual. Ah, lagi-lagi ia menjadi emosional. Ayahnya mengingatkan jangan sampai stres berlebih, sebab keguguran dapat membuat seorang wanita kehilangan kewarasan. Dan sejujurnya, Shiyeon memang merasa hampir gila.

Our DreamsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora