16

315 41 46
                                    

"Nona Kim Sunhee—"

"Kim Sunhee-ssi, bagaimana perasaan Anda setelah menjalani sidang tadi?"

"Apakah Anda mengakui dugaan yang diberikan?"

"Apa komentar Anda mengenai Saksi-saksi yang diajukan oleh Presdir Choi yang merupakan teman-teman Anda?"

"Bagaimana aktivitas Anda selanjutnya?"

"Anda sedang berada di puncak setelah empat tahun berada di dunia modeling, tapi dugaan seperti ini..."

"Kami ingin mengetahui situasi sebelum dan sesudahnya..."

Sorot yang membuat kilatan, bunyi  tekanan tombol dengan tempo berbeda, mikrofon yang saling terdepan, dan suara orang-orang yang berlomba bicara membuat keadaan pengadilan Seoul sore itu kacau, ricuh dengan orang-orang yang berburu informasi. Semua karena seseorang yang baru saja keluar dari pintu besar yang membuat panas. Namun berbeda dengan sekitar, justru si narasumber itu hanya diam, sesekali menunduk dan mengedip karena kilatan membuat ia pusing. Tidak pernah dalam hidupnya mendapat kilatan kamera sebanyak ini, mungkin biasanya hanya setengahnya. Sekarang, orang-orang hanya terfokus padanya, mencari gambar dari celah kesalahan apa pun ekspresi dan gerak-gerik tubuhnya.  Dirinya sedang difoto bukan untuk dipuji, tapi dijadikan bahan untuk diteliti atas musibah dan masalah hidupnya. Ia sedang menjadi tersangka.

Ia diam bukan berarti santai. Pikirannya terasa kosong, otaknya tak ingin berjalan, dan perasaannya begitu tak menentu. Ia yakin semua karena permasalahan yang dihadapi sekaligus karena tuntunan berbagai jenis pertanyaan yang memuakkan. Ia ingin pulang, segera menghindari sorot dunia bahkan menghilang dari angkara yang perlahan membinasakan. Sesungguhnya mereka tidak tahu, entah tolol atau memang menutup mata. Sepertinya keduanya. Satu titik air bersih tak akan berpengaruh jika menghadapi genangan air kotor. Dunia sudah buta, semua sudah menunjuk dirinya. Ia seorang tersangka.

"Saya mohon maaf atas masalah ini..." ia tertunduk sebentar, menatap kosong pada beberapa alat pengeras suara sekaligus perekam yang siap menyimpan suaranya. Lantas saat itulah perlahan semua pertanyaan yang diajukan lenyap begitu saja, seolah orang-orang itu membisu dan hanya ingin mendengar dirinya bicara.

"Meski saya mengatakan tidak tahu... Tapi sudah banyak sekali orang yang kecewa pada perilaku Saya. Untuk itu... Saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya. Maaf untuk—"

"Sunhee-ssi, kedepannya..."

Wanita itu diam sejenak, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Saya tidak akan memgulanginya lagi. Saya meminta maaf karena perbuatan saya yang telah merugikan beberapa pihak. Setelah semua ini, orang bebas memberi komentar dan menilai saya apa pun. Saya meyakini jika mungkin saya tidak akan berbicara lagi seperti ini. Saya Kim Sunhee, tidak akan muncul lagi di hadapan kalian semua—"

"Kim Sunhee-ssi, apa itu berarti kau akan berhenti?"

Satu suara lantang dari arah depan kini menjadi sorotan. Datang dari seorang wanita yang terhalang empat-lima orang. Wanita itu tak Sunhee kenal, tapi yang jelas ia pernah melihat wanita itu beberapa kali saat hendak menemui Yoongi, ia selalu abai. Namun sekarang Sunhee menatap wanita ber-nametag itu lamat, dengan senyum ia menjawab dengan anggukan.

"Ya, aku akan berhenti."

Lantas mulai saat itu, Sunhee memulai untuk menjadi tuli pada dunia dan hilang dari semua orang.

-0-


Langit sedang kelam, tidak muncul senja saat seharusnya mentari hendak pulang. Ketika itu, Park Jimin muncul dari balik pintu kaca sebuah pintu di lorong lantai dua belas. Jimin adalah salah seorang penyanyi, dan pemilik pintu yang sekarang ia buka adalah produsernya. Pria itu menyembulkan kepala dan mengintip ruangan untuk melihat atensi si pemilik. Begitu menemukan sosok yang dicarinya, ia tersenyum manis  lantas dengan tangan bebas mengetuk pintu walau percuma. Si pemilik ruang tak acuh.

1204 Room (Suga-Sunhee) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang