Another Ending

234 20 11
                                    

Hanya dengan dengkusan kasar ia mengakhiri kefokusannya pada ponsel, menyimpan dengan tak bersemangat ketika balasan terakhir masih terngiang di pikiran. Memang bukan sesuatu yang baik, tidak pernah ia harapkan untuk terulang lagi. Tapi selalu terjadi hingga rasanya ia ingin putus asa. Menyerah untuk terus meyakini diri jika hari ini tak akan sama dengan hari lalu, minggu lalu, atau bulan-bulan lalu. Namun nyatanya malah lebih parah. Yang sebelumnya tolakan, kemudian janji, tapi akhirnya ingkar. Mungkin harusnya ia mulai tahu diri dengan menyerah.

Kim Sunhee menatap gelas berisi lemon tea yang tersisa setengah dengan pandangan miris. Es yang tadi mengambang sudah mencair semua, menjadi tetesan uap yang membuat gelas bening berubah buram. Entah berapa lama proses pencairan es beku itu menjadi uap, yang jelas sepertinya lebih dari dua jam. Sebuah fakta yang membuat ia makin terlihat bodoh karena mengamati sesuatu yang tidak berfaedah. Seperti saat ia menunggunya seperti ini, tidak berguna.

Janji di kafé tidak datang, mengunjungi studio dilarang, merespon pesan sangat lambat, menghubungi tidak terangkat karena sibuk. Rasanya begitu sulit untuk digapai. Entah perasaannya atau 'orang itu' memang menghindar.

Ia melihat arloji saat matanya beralih pada jendela besar yang menampilkan senja. Sudah pukul enam sore lebih beberapa menit. Benar ternyata, sekitar dua jam ia menunggu si es jadi mencair. Ia datang saat rasa lelah dan haus menuntutnya untuk memesan segelas lemon tea segar. Menunggu dengan sabar, bersemangat, tanpa keluhan. Terlambat lima menit mungkin karena lupa waktu, terlambat sepuluh menit mungkin karena macet, terlambat tiga puluh menit mungkin karena ia melupakan sesuatu, terlambat satu jam mungkin karena ada sesuatu yang tertinggal, terlambat satu jam lebih mungkin karena ia lupa atas janjinya, dan nyatanya bukan lelaki itu yang terlambat, tapi Sunhee lah yang salah menepatkan waktu.

"Aku lupa mengatakannya, tapi adikku memintaku hari ini untuk menemaninya pergi."

Oh, okey. Ia kalah lagi. Harus mengalah lagi. Mengesampingkan ego dan keinginannya untuk kembali mengerti kesibukan lelaki itu. Dirinya berada di beberapa jajaran belakang yang menjadi prioritas utama. Sebab saat ini ia tidak lagi seperti beberapa tahun lalu yang selalu dikedepankan dan didahulukan.

Jika kesatu adalah keluarga, kedua pekerjaan, ketiga keluarga, keempat teman, kelima kerabat, ia mungkin jadi kesekian. Padahal dulu, saat ia terluka bahkan hanya mengeluarkan setetes darah pun, lelaki iuu menjadi sosok paling pertama yang khawatir. Seolah dirinya mengalami luka sepuluh kali lipat lebih besar dari yang terjadi. Seutama itu dan seprioritas itu.

Seharusnya Sunhee tahu diri sejak awal. Ia menyadarinya beberapa tahun terakhir bahwa ia menyukai lelaki itu, menyayanginya, memedulikannya, tapi ia tidak tahu jika perasaan itu terbalas atau tidak. Sebab nyatanya, ia tidak pernah merasakan itu lagi. Perhatian dan prioritas itu telah hilang. Seakan ada perubahan yang membuat mereka kian berjarak, membenteng dengan tegap membuat batasan. Dan seharusnya Sunhee percaya, langit saja bisa berubah, dari cerah beberapa menit lalu, kini mendung seperti perundung. Tak mustahil jika manusia juga seperti itu.

Ia hendak keluar saat sebuah suara kemudian menghentikan langkahnya. Bukan seseorang, tapi sebuah lagu dari seseorang yang amat dia kenal. Sekarang yang ia amati bukan hanya tentang penyanyi atau pencipta, melainkan makna dari lagu itu yang entah kenapa membuat ia semakin sakit. Bukan kecewa, tapi rasa menyesal. Diam-diam saat ia melangkah keluar, dengan orang-orang yang hilir mudik keluar masuk kafé itu, Kim Sunhee merasa dunianya berhenti.


....
No I don't wanna let you go
Pain can be healed, I'll let it go
After we pass our favorite cafe
In just a minute
Take a right turn to your house
Left turn, arrived at destination

1204 Room (Suga-Sunhee) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang