Hati-hati Brad mendekati Natalie dan ikut bersender di sebelahnya. Air mata meluncur bebas di pipi Natalie. Brad membuka mulutnya untuk menahan air mata itu terus mengalir karena itu juga membuatnya sesak.

"Jangan suruh aku berhenti menangis jika kau tidak tahu apa yang kurasakan." desis Natalie.

"Aku tahu. Aku tahu apa yang kau rasakan."

Natalie menggeleng cepat dan menghapus air matanya. "Kau hanya bersimpatik. Kau tak pernah benar-benar merasakannya. Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya merelakan seseorang yang kau cintai demi orang lain."

Natalie terisak tak tertahankan. Mengikuti gerakan hatinya, Brad membawa Natalie dalam dekapannya.

"Kau tidak pernah tahu, Brad," bisik Natalie di sela tangisnya.

Selama beberapa menit mereka terdiam di posisi yang sama. Tangis Natalie mereda. Ganjalan dalam hatinya pun ikut terangkat sedikit. Brad dapat membuatnya lebih baik dengan sebuah pelukan.

"Sudah jangan menangis lagi," kata Brad menenangkan setelah Natalie melepas pelukannya dan tertunduk malu. Bisa-bisanya ia mempergunakan pundak Brad demi meluapkan kesedihannya. "Butuh kopi?"

Natalie tertawa kecil melihat wajah Brad yang ragu-ragu mengajaknya. "Boleh juga."

Tidak ingin mengambil resiko untuk kembali masuk ke rumah sakit dan membeli kopi kalengan di kantin rumah sakit, Brad mengajak Natlie untuk mencari kedai kopi terdekat. Untungnya hanya berjalan beberapa blok mereka menemukan kedai kopi yang sepi sehingga Brad tidak perlu menutup-menutupi identitasnya.

Brad memilih duduk di sudut kedai kopi dan segera memanggil pelayan. Setelah memesan, Natalie lebih banyak diam, memandang kosong ke arah meja. Dan Bard hanya mencuri pandang pada Natalie tanpa ingin mengganggu lamunannya.

Setelah pesanan mereka berdua datang, Brad akhirnya memulai perbincangan karena sejujurnya ia tak tahan terus-terusan diam. "Jadi bagaimana hubunganmu dengan Connor?"

Natalie menyeringai. "Kau tahulah air dan minyak tak akan pernah bersatu."

"Kalian berdua tuh terlihat sangat seperti kakak adik."

"Aku dan Connor? Oh tidak. Mungkin kalau dia menjadi kakakku aku yakin rumah kita berdua sudah hancur."

Brad meneguk sedikit Americano miliknya, "omong-omong, bukankah kau punya kakak?"

"Yeah, namanya Cameron Dallas. Dia sekarang tinggal di New York mengurus perusahaan ayahku,"

"Dallas? Kok nama belakang kalian berdua berbeda?" tanya Brad tertarik.

"Dia kakak angkatku. Aku pertama kali tinggal serumah dengannya di Virginia. Aku ingat sekali di sebelah kiri rumahku itu ditinggali sepasang kakek dan nenek yang sudah lanjut usia. Mereka suka mengajakku dan Cameron makan kue di rumah mereka," Natalie tersenyum kecil mengingat masa lalunya namun secepat terpaan angin badai senyum itu menghilang. "Dan tetangga di sebelah kananku, adalah keluarga Mendes."

Brad terperangah sesaat. Ini salah satu fakta yang selama ini dicarinya untuk dapat menjawab pertanyaan yang mengganggunya tiap malam. "Shawn Mendes?"

Natalie mengaduk minumannya dengan sedotan dan menghela napasnya. "Kita bersahabat sampai sekolah menengah pertama. Setelah itu aku menjauhinya karena dia masuk kelompok anak-anak populer. Aku kembali dekat dengannya setelah seorang anak populer mendekatiku.

"Aku awalnya mencintai si Brengsek itu tapi pada akhirnya akus adar jika aku ini hanyalah bahan taruhan. Shawn-lah yang membantuku melewati fase-fase terburuk dalam hidupku. Dan lagi-lagi aku jatuh cinta. Aku tak bisa menghindari perasaan itu. Kita pernah berkencan tapi si Brengsek itu kembali mengacaukan semuanya hingga akhirnya Shawn tak pernah mau melihatku lagi hingga sekarang.

"Sekarang aku tidak punya harapan untuk bisa kembali kepadanya. Karena dia sudah bahagia dengan Camila. Kau tahu kan betapa sakitnya itu? 4 tahun yang lalu dia bilang dia akan terus mencintaiku dan sekarang, dia bahkan melupakanku. Menyalahkanku. Aku tidak tahu mengapa semua seperti ini," suara Natalie bergetar, dia menggigit bibirnya untuk menahan air matanya. "Apakah kau menyalahkanku juga, Brad?"

Sekarang semuanya sudah jelas. Sangat jelas. Tak hanya menjawab pertanyaan itu tapi juga memberikan Brad kesadaran jika selama ini perasaannya tak pernah terbalaskan sedikitpun.

"Tidak, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Jangan menyalahi dirimu. itu bukan salahmu sama sekali."

"Menurutmu apakah Shawn bisa kembali kepadaku?" tanya Natalie, menatap Brad penuh harapan. Brad terdiam seribu bahasa. Dia menyayangi Natalie, dia tidak ingin Natalie masih berharap akan bisa kembali kepada Shawn yang jelas-jelas sudah menyakitinya. Dia tidak ingin merelakan Natalie kepada orang yang telah membuat Natalie menangis. Tapi cara Natalie menatap Brad penuh harapan membuat Brad goyah.

"Ah, pertanyaan macam itu. Aku memang bodoh ya. Shawn kan sudah bahagia dengan Camila," kata Natalie dengan suara serak.

Brad kembali menggelengkan kepalanya, "tidak, aku yakin Shawn masih menyayangimu, Natalie. Tingkahnya yang perhatian kepadamu membuatku yakin kalau dia masih menyayangimu. Aku akan membantumu untuk kembali kepadanya."

Brad mencoba menahan perihnya kenyataan bahwa dia hanya 'malaikat' yang hanya bisa membantu Natalie. Membantunya untuk kembali kepada Shawn. Membantunya kembali bahagia.

Again | s.m✔️Where stories live. Discover now