52. Konspirasi Hujan

Start from the beginning
                                    

"Non, kok nangis?" tanya Adit sambil menjulurkan sebelah tangan yang tidak tergenggam ke arah Gesna.

"Enggak! Siapa yang nangis?" Gesna cepat-cepat berdiri, melepaskan genggaman dan kembali ke dapur. Dia bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan untuk merawat Adit? Hingga detik ini, Gesna baru sadar kalau dalam keluarganya tidak pernah ada yang peduli dengan demam. Ralat. Mungkin dia yang tidak tahu bagaimana pengasuh menjaga Gandhi. Namun selama ini, jika dia flu, Gesna hanya meminum obat lalu tidur dan keesokannya membaik.

Suara bersin Adit menggelegar lagi, membuat Gesna semakin resah. Dia ingin bisa membantu Adit. Kaki Gesna berjalan bolak-balik sembari membuka ponsel, dia mencoba mencari tahu penanganan pertama pada demam. Astaga, ternyata tidak boleh menyelimuti orang demam. Dengan terburu-buru, dia memanaskan air dan mencari handuk kecil di kamar tamu. Dia menyempatkan meraup baju kotor Adit dan memasukkannya ke mesin cuci. Setelah air cukup hangat, Gesna membawa baskom berisi air tersebut ke dekat Adit, memeras air dan menaruh handuk di dahi Adit.

"Orang demam enggak boleh pakai selimut ternyata." Gesna menurunkan selimut Adit, menyisakan di pinggir mata kaki. Karena Adit harus banyak-banyak minum, Gesna membawa seteko air ke dekat mereka. "Dit, minum lagi," ujarnya sambil menyodorkan gelas bersedotan ke arah Adit. "Harus banyak-banyak minum."

Adit mengangguk, menerima minum. "Makasih, ya," sahut Adit sambil tersenyum di antara wajah lesunya dan bersin lagi tak lama kemudian. "Udah, aku nggak apa-apa. Kamu jangan sibuk-sibuk. Naik ke kamar aja, tidur."

Tidak apa-apa katanya? Kalau saja cowok itu tidak sedang kesusahan bernapas, mungkin Gesna akan memukul kepalanya. Enak saja menyuruh dia tidur, apa Adit tidak tahu kalau dia khawatir?

"Nyo," panggil Gesna yang sudah kembali duduk di bawah sofa, berhadapan dengan muka Adit. Mata cowok itu terbuka lagi. Gesna mengambil handuk dan membilas dengan air di baskom, memasang kembali di dahi itu. Suhu panas yang menguar dari badan Adit terasa hingga tangan Gesna. "Jangan sakit-sakit."

Kepala Adit menggeleng pelan dan menangkap kembali tangan Gesna, mengecup punggung tangan yang tadi meraba dahinya. "Enggak, Nona. Aku juga nggak mau sakit."

"Ya udah, tidur." Sebelah tangan Gesna menyingkirkan poni Adit yang tertimpa handuk, membelai kepala yang sepanas bara agar cowok itu kembali tidur. Namun, bukannya menutup, mata itu malah menatapnya lekat. "Kenapa? Tidurlah."

Sudut bibir Adit berkedut dan melengkung. Badannya memang terasa tidak enak, tetapi semua yang Gesna bikin membuat semua rasa tidak enak itu menyingkir dengan segera. "Aku nggak tahu kamu kenapa, kamu aneh hari ini, tapi aku suka. Aku selalu pengin kamu maafin aku, tapi kalau kamunya enggak mau, aku nggak bisa paksa. Aku tahu kamu nggak suka dipaksa. Kita sama."

Adit membawa telapak tangan Gesna ke pipinya, merasakan jari-jari lembut tersentuh di sana. "Aku juga enggak bisa lupa sama kamu, Non. Mana bisa aku lupa kalau di setiap nada yang kupetik ada kamu, di setiap lagu yang kunyanyikan ada kamu, di setiap sudut ingatan ada kamu. Dan kangen sama kamu adalah luka yang sangat aku suka. Segagal move on itu aku."

Hujan di luar masihlah deras. Air hujan seperti ikut mengguyur isi hati Gesna sehingga dingin merambati punggungnya. "Bukannya kamu udah move on?" bisik Gesna. Badannya terasa lemas sampai tidak kuasa menarik tangan sendiri.

Alis hitam dan lebat milik Adit naik. Cowok itu tersenyum senang begitu menyadari Gesna menonton live IG mereka. "Bara yang bilang, bukan aku. Dia ngecengin aja karena dia tahu aku masih gagal move on dari kamu. Nonton juga, ya?"

MATAHARI APIWhere stories live. Discover now