Desember

84 21 16
                                    

Dua belas bulan dalam setahun. Waktu yang singkat untuk menjalani hidup. Namun, cukup lama dalam menjalin suatu hubungan. Apalagi, hubungan yang dipenuhi dengan hari-hari menahan kerinduan yang setiap detiknya bertambah berat dua kali lipat. Sebab jarak, waktu, dan semesta bekerjasama dengan begitu baiknya untuk membuat aku dan Irba tak dapat bertemu selama beberapa waktu yang belum tentu. Terpisah oleh jarak, keyakinan, dan kesibukan masing-masing pihak.

Membuatku harus menahan rindu dan menikmatinya seiring berjalannya waktu. Rindu yang katanya dapat memperat ikatan dalam suatu hubungan. Rindu yang katanya sebagai alasan pertemuan. Meski seringkali, beberapa pihak memilih mengakhiri suatu hubungan sebab tak kuat menahan kerinduan. Entah benar-benar tak kuat, atau justru ada penguat lain yang lebih hebat untuk menguatkan.

Tepat dua tahun yang lalu dari hari ini. Di taman belakang kampus. Irba Zion, kekasihku yang waktu itu masih menjadi seniorku. Mahasiswa Sastra Inggris tingkat akhir. Hari itu sekitar pukul empat sore. Irba menyatakan perasaannya kepadaku dan memintaku menjadi kekasihnya. Lelaki yang telah mampu membuatku nyaman dengan segala tingkah lucunya. Nasihat bijaknya seperti candu yang membuatku selalu merasa rindu.

Irba mampu membuatku jatuh hati kepadanya hanya dalam waktu dua bulan. Hebatnya lagi, dia berhasil meyakinkanku untuk menjadi kekasihnya. Meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku Elisya, Elisya Frinsca, mahasiswi Fakultas Hukum semester 4. Aku yang waktu itu masih menjadi mahasiswa baru, memberanikan diri menerima tawaran Irba menjadi kekasihnya. Memberanikan diri memulai suatu hubungan baru yang sebelumnya belum pernah aku jalani. Hubungan yang aku tahu akan banyak rintangan di dalamnya, sebab terlalu banyak perbedaan di antara aku dan Irba. Hubungan yang tak akan mudah untuk dijalani dan diperjuangkan bersama, apalagi sendiri. Terlalu berat, terlalu banyak hal yang menjadi alasan untuk memisahkan.
***
Irba baru saja wisuda tahun lalu. Sekarang dia bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Itulah salah satu alasan yang membuat aku dan Irba tak dapat bertemu. Bahkan untuk sekadar berkomunikasi via telepon pun butuh kesepakatan waktu.

Irba yang terlalu sibuk bekerja. Aku pun sibuk dengan rutinitasku sebagai mahasiswa yang mengikuti banyak kegiatan kampus maupun luar kampus, mengikuti kegiatan sosial, hingga menjadi aktivis yang sering dianggap dan dipandang tragis. Meski telah banyak mengikuti kegiatan sosial, tak jarang masih banyak yang memandang dan menganggapku anti sosial. Ditambah lagi, aku masih bekerja freelance dan part time.

Seminggu yang lalu Irba ditugaskan di Yogyakarta. Namun, sepertinya dia terlalu sibuk hingga sulit meluangkan waktu untuk sekadar bertemu dan bertegur sapa denganku. Hari ini dia baru bisa meluangkan waktunya. Dia mengajakku bertemu di kedai coffee favoritku, dekat toko buku yang biasanya aku kunjungi, pukul tiga sore.
***
Di sudut ruangan yang tak begitu besar. Di sebuah kedai coffee di kota yang istimewa, Yogyakarta. Ditemani denga setumpuk buku, aku masih mencoba selalu setia menunggu. Masih berusaha selalu mampu memaklumi Irba yang tak akan pernah bisa datang tepat waktu. Aku cukup paham jika dia terlalu sibuk. Aku sebagai kekasihnya harus mencoba paham dengan segala keadaan dan rutinitasnya. Harus mengerti tentang kegiatan dan waktu yang dapat Irba berikan.

175 menit berlalu untuk sekadar menunggu. Masih dengan perasaan yang sama tentunya. Menghabiskan dua cangkir affogato. Minuman yang selalu mampu menenangkan. Sajian es krim dalam cangkir yang disiram dengan ekspresso. Perpaduan antara manis dan lembutnya es krim vanilla dengan pahitnya ekspresso yang pekat, memikat, dan mengikat. Menyatu dan berpadu menjadi satu hal yang sempurnya untuk saling melengkapi. Meyakinkanku, bahwa perbedaan ada untuk menyempurnakan. Bukan sebagai alasan perpisahan.

Aku bahkan sudah hampir menyelesaikan membaca satu novel karya salah satu sastrawan ternama di Indonesia. Namanya sudah cukup terkenal, tak asing lagi terdengar, bahkan hingga negeri seberang. Namun, lebih memilih berhenti dan mengakhiri hobi sekaligus pekerjaannya~rutinitasnya sebagai penulis. Berhenti berbagi inspirasi melalui tulisannya sebab suatu hal yang tak dapat tersebutkan. Bukan ingin berhenti menginspirasi, bukan ingin berhenti berbagi pengalaman melalui cerita. Lebih tepatnya, karena merasa menyiksa diri sebab ketidakseimbangan antara usaha dan hasil yang diterima.

AFFOGATOWhere stories live. Discover now